Alt Title

POLEMIK MINYAK GORENG TAK KUNJUNG USAI

POLEMIK MINYAK GORENG TAK KUNJUNG USAI


Terjadi Mahalnya hingga Kelangkaan Minyak Goreng MinyaKita


Polemik yang Terus Membelit Urusan Pangan Rakyat, Termasuk Minyak Goreng adalah Bukti Betapa Sistem Kapitalisme Sekuler Telah Gagal dalam Menyolusikannya


Penulis : Ummu Muthya

(Ibu Rumah Tangga) 


kuntumcahaya.blogspot.com - Akhir-akhir ini minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, MinyaKita, menjadi langka di pasaran. Kalaupun ada, harga jualnya melonjak mahal hingga Rp20.000 per liter. Berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan No. 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas MinyaKita dan curah dengan harga eceran tertinggi Rp14.000 per liter. 


Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan suplai MinyaKita akan tersedia di pasar tradisional. Minyak goreng jenis ini tidak boleh dijual secara online, dan di supermarket. Setiap hari akan ada pengawasan dari pemerintah dan produsen di samping meningkatkan tambahan suplai minyak goreng curah dan kemasan sebanyak 450.000 ton, selama tiga bulan, yaitu Februari-April 2023. Adapun sebelumnya suplai minyak goreng hanya 300.000 ton per bulan kini menaikkan 50 persen.


MinyaKita ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Langkah ini diambil sebagai antisipasi kelangkaan stok minyak seperti yang terjadi saat ini. (Kompas[dot]com, 3/2/2023)


Kelangkaan MinyaKita di pasaran, diduga akibat banyak masyarakat yang mulai beralih dari minyak goreng premium ke MinyaKita karena  kualitas tidak jauh berbeda. Akhirnya, pemerintah membuat kebijakan bagi yang membeli MinyaKita harus menunjukkan KTP. Jumlah pembelian tidak boleh lebih dari 5 kilogram, dengan catatan untuk dikonsumsi sendiri, bukan untuk diperjualbelikan lagi. Para pedagang tidak boleh menaikkan harga di atas harga HET, jika diketahui melanggar akan kena sanksi dari satgas pangan. 


Pemerintah memang memiliki satuan tugas pangan untuk mengawasi di lapangan. Namun faktanya kelangkaan tetap terjadi dan praktik kecurangan hingga penimbunan kerap ditemukan bahkan dilakukan pengusaha besar. Negara pun tidak bisa berbuat banyak jika pengusaha tersebut lebih memilih menjual ke luar negeri ketimbang memenuhi stok dalam negeri, yang dianggap kurang menguntungkan. Inilah kondisi di saat Kapitalisme dijadikan asas ekonomi negara. 


Sistem Kapitalisme membuat para pemodal seolah sebagai penguasa, sementara negara adalah regulator dan fasilitator dalam memenuhi kepentingan mereka. Lalu bagaimana mungkin para pemodal tersebut akan mendapat sanksi tegas jika negara sendiri tak punya nyali?


Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Negara yang menerapkan Islam akan melaksanakan tugasnya sebagai pelayan umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:


“Imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari)


Dalam sistem Islam, negara adalah sentral dalam setiap urusan terkait umat, negaralah yang menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, terlebih kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Negara akan menerapkan sistem ekonomi dan politik Islam dalam menyelesaikan seluruh persoalan masyarakat agar tidak terjadi perampasan hak publik yang bertentangan dengan hukum syarak,  dan juga tidak tersandera oleh kepentingan para pemilik modal, sebagaimana sistem Kapitalisme sekuler saat ini.


Demikian halnya dengan urusan minyak goreng akan menjadi perhatian penguasa. Jika ketersediaan tidak mencukupi, maka penguasa akan mencari akar masalahnya dari persoalan ini.


Kelangkaan minyak itu terjadi karena pasokan dan permintaan atau penimbunan. Jika permasalahannya ada pasokan dan permintaan, maka penguasa tidak akan mengintervensi harga, sebagaimana kebijakan penguasa Kapitalisme. Pematokan harga oleh negara dilarang oleh Islam seperti dalam sabda Rasulullah: 


"Orang yang mendatangkan (makanan) akan dilimpahkan rezekinya sementara penimbun akan dilaknat." (HR. Muammar al-Adwi)


Larangan untuk mematok harga, baik harga atas maupun harga bawah, merupakan kezaliman bagi penjual dan pembeli. Harga jual barang hanya boleh diserahkan berdasarkan mekanisme pasar sehingga barang-barang dapat dijangkau oleh masyarakat. Penguasa diperbolehkan mengintervensi barang dari luar wilayah dalam rangka memenuhi ketersediaan pangan dan agar tidak terjadi polemik harga atau barang. Hal ini pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. selaku penguasa pada saat kepemimpinannya. 


Negara juga akan memastikan mekanisme pasar berjalan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi khususnya terkait produksi, distribusi, konsumsi, dan lainnya. Negara pun berkewajiban menghilangkan distorsi pasar, seperti larangan penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar, serta pelaksanaan fungsi qadi hisbah (hakim) secara aktif dan efektif dalam memonitor pasar. Dari Said al-Musayyib, dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda:


“Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR. Muslim) 


Demikianlah tanggung jawab negara dalam Islam. Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, termasuk migor bagi rakyatnya secara merata. Oleh karenanya, menyelesaikan persoalan hari ini harus dikembalikan pada pangkal persoalannya, yaitu sistem.


Tentu bukan sistem Kapitalisme sekuler, melainkan sistem yang berasaskan akidah Islam. Sebab, Kapitalisme sekuler selain menjadi pangkal masalah, juga menyebabkan hilangnya fungsi negara sebagai pengurus dan pengatur urusan publik. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.