Alt Title

Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup Individu, Masyarakat dan Negara

Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup Individu, Masyarakat dan Negara




Al-Qur'an bukan sekadar kitab suci yang dibaca saat Ramadan

atau mengisi pengajian seminggu sekali

_________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Peringatan Nuzulul Qur’an selalu menjadi momen yang dinanti umat Islam. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan atas turunnya wahyu pertama, tetapi juga sebagai ajakan untuk kembali menghayati dan mengamalkan isi Al-Qur’an. 


Dari podium megah di istana negara hingga lantunan ayat suci di mesjid-mesjid kecil di pelosok desa, suasana peringatannya begitu semarak dan penuh haru. Namun, di tengah kehangatan acara, merdunya bacaan qari, dan gemerlap dekorasi islami, terselip satu pertanyaan besar yang perlu dijawab bersama. Sudahkah Al-Qur’an benar-benar dijadikan pedoman hidup? Bukan hanya dalam ranah pribadi, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media, semangat peringatan Nuzulul Qur’an digaungkan dari berbagai penjuru negeri. Dalam wawancaranya bersama (Metrotvnews.com, 16-03-2025) Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Selatan Ali Yafid menegaskan bahwa Nuzulul Qur’an adalah momentum untuk membaca, memahami, dan mengamalkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, agar tercipta kedamaian dan ketentraman di tengah masyarakat.


Sayangnya, semangat dalam perayaan ini sering kali masih bersifat seremonial dan simbolik, belum menyentuh penerapan Al-Qur’an secara nyata dalam tatanan kehidupan individu, masyarakat, maupun negara.


Ironi Perayaan Nuzulul Qur’an


Meski setiap tahun diperingati, Nuzulul Qur’an sering kali hanya menjadi acara seremonial. Al-Qur’an hanya dijadikan objek perlombaan, dibaca merdu, tetapi tidak dijadikan sumber hukum dan pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah bentuk pengabaian terhadap Al-Qur’an yang justru dibungkus dalam acara-acara keagamaan yang tampak agung.


Lebih menyedihkan lagi, negara yang menggelar peringatan Nuzulul Qur’an ternyata masih menjadikan hukum sekuler sebagai dasar dalam mengatur rakyatnya. Undang-undang dibuat tanpa merujuk kepada Al-Qur’an. Pendidikan tidak diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam. Sistem ekonomi pun masih berdasarkan riba dan kapitalisme. Akibatnya, berbagai krisis moral, sosial, dan ekonomi pun terus terjadi.


Al-Qur’an: Petunjuk Hidup yang Sempurna


Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang dibaca saat Ramadan atau untuk mengisi pengajian seminggu sekali. Ia adalah petunjuk hidup (hudan) yang Allah turunkan sebagai pedoman sempurna untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:


"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)


Dalam ayat ini, jelas bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga dipahami, diamalkan, dan dijadikan pedoman hidup dalam segala aspek kehidupan yang meliputi akidah, ibadah, muamalah, akhlak, bahkan dalam sistem pemerintahan dan pengaturan masyarakat.


Sayangnya, hari ini banyak umat Islam yang membatasi fungsi Al-Qur’an hanya dalam aspek spiritual pribadi. Negara dan masyarakat justru menggunakan hukum buatan manusia sebagai pijakan dalam mengatur kehidupan. Ini merupakan bentuk pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi ciri khas sistem demokrasi sekuler kapitalistik.


Demokrasi Kapitalisme: Aturan dari Akal Manusia yang Terbatas


Sistem demokrasi kapitalisme menempatkan akal manusia sebagai satu-satunya sumber hukum. Dalam kerangka ini, prinsip kedaulatan di tangan rakyat tampak menjanjikan, namun pada kenyataannya membuka ruang bagi hukum yang dibentuk berdasarkan selera mayoritas, tekanan kelompok, serta kepentingan politik dan ekonomi padahal manusia adalah makhluk yang serba terbatas, mudah terpengaruh oleh emosi, ambisi, dan hawa nafsu.


Hukum yang lahir dari manusia yang terbatas pun menjadi tidak stabil, penuh kontradiksi, serta rawan manipulasi. Benar dan salah tidak lagi didasarkan pada nilai hakiki, melainkan ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan lebih besar atau pengaruh yang lebih kuat.


Dalam sistem seperti ini, kepentingan ekonomi dan kekuasaan menjadi prioritas utama. Segala sesuatu diukur berdasarkan nilai manfaat, bukan nilai kebenaran. Agama semakin dijauhkan dari ruang publik. Nilai-nilai luhur yang bersumber dari wahyu hanya diposisikan sebagai urusan pribadi, tidak memiliki tempat dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Lebih menyedihkan lagi, mereka yang menyerukan penerapan Al-Qur’an secara utuh seringkali dilabeli sebagai radikal, intoleran, bahkan dianggap mengancam tatanan negara padahal merekalah yang sejatinya ingin membawa umat kembali kepada aturan yang lurus dan adil, bukan berdasarkan hawa nafsu manusia, tetapi bersumber dari wahyu Allah yang Maha Sempurna.


Al-Qur’an sebagai Asas Kehidupan


Berpegang pada Al-Qur’an bukanlah pilihan, melainkan konsekuensi keimanan. Seorang muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat sejatinya telah berjanji untuk tunduk sepenuhnya kepada seluruh hukum Allah. Artinya, Al-Qur’an harus menjadi asas kehidupan dalam semua aspek pribadi, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, hingga pemerintahan.


Jika kita ingin membangun peradaban manusia yang mulia, maka tidak ada jalan lain selain kembali kepada Al-Qur’an secara menyeluruh. Allah Swt. berfirman: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Maidah: 49)


Ayat ini menegaskan bahwa siapa pun, termasuk pemimpin negara, wajib berhukum kepada Al-Qur’an dan tidak mengikuti hawa nafsu manusia.


Al-Qur’an sebagai Pedoman Praktis dalam Kehidupan


Umat Islam harus disadarkan bahwa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bukan hanya dalam aspek ibadah pribadi, tetapi juga dalam tatanan sosial dan kenegaraan. Islam adalah agama yang menyeluruh (syamil) dan sempurna (kamil), mencakup seluruh aspek kehidupan.


Kesadaran ini harus dibangun melalui dakwah yang dilakukan oleh jemaah dakwah yang memiliki visi ideologis. Mereka bukan hanya menyampaikan ajaran Islam secara tekstual, tetapi juga mendorong perubahan sistemik yang menjadikan Islam sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Allah Swt. berfirman:


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)


Ayat ini menunjukkan pentingnya peran kelompok dakwah untuk membangun kesadaran kolektif umat agar kembali kepada Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan.


Khatimah


Hari ini, saat dunia makin kehilangan arah, umat Islam memiliki sumber petunjuk yang pasti dan sempurna yaitu Al-Qur’an. Namun, potensi luar biasa ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak dijadikan pedoman hidup yang nyata. 


Perayaan Nuzulul Qur’an seharusnya menjadi momentum untuk membangkitkan semangat menerapkan Al-Qur’an dalam segala lini kehidupan. Bukan hanya dibaca dan dilombakan, tapi benar-benar dijadikan sumber hukum dan solusi atas berbagai problematika hidup.


Saatnya umat Islam bangkit dan memperjuangkan tegaknya kehidupan yang berlandaskan Al-Qur’an. Dari individu yang taat, masyarakat yang sadar hukum syariat, hingga negara yang berhukum dengan wahyu Ilahi. Inilah jalan untuk meraih kemuliaan hakiki di dunia dan akhirat. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]