Kedaulatan Pangan dalam Bayang-Bayang Kapitalisme, Akankah Terwujud?
OpiniKetahanan dan kedaulatan pangan seharusnya tidak hanya terkait dengan tersedianya stok
tetapi juga memperhatikan bagaimana upaya negara dalam mengelola pangan agar dapat menyejahterakan rakyat
_______________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dalam pusaran waktu, ketika kita mencermati situasi negeri ini. Tampak tak ada satu pun solusi yang benar-benar mampu menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada. Salah satu contoh yang jadi sorotan adalah tingginya harga beras yang tak kunjung terselesaikan.
Namun ironisnya, meskipun harga beras melonjak tapi petani tetap gigit jari. Menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN. (cnbcindonesia.com, 26-10-2024)
Carolyn Turk, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, menyebut bahwa tingginya harga beras disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor, kenaikan ongkos produksi, hingga pengetatan tata niaga melalui nontarif.
Berdasarkan Survei Pertanian Terpadu dari Badan Pusat Statistik (BPS), penghasilan rata-rata petani kecil di Indonesia hanya sekitar Rp15.199 per hari atau kurang dari 1 dolar AS. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga beras yang tinggi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani yang masih jauh dari kata sejahtera.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, salah satunya adalah tingginya ongkos produksi pertanian. Menurut Rahmi Widiriani, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), ongkos produksi beras meningkat agar petani bisa memperoleh keuntungan yang layak. Namun kenyataan di lapangan, para petani justru menanggung beban produksi yang melambung, mulai dari harga benih, pestisida, pupuk, hingga biaya lainnya.
Kebijakan Subsidi dan Masalah Rantai Distribusi Biang Masalah
Kebijakan subsidi pupuk yang seharusnya membantu ternyata tidak cukup meringankan beban petani. Hal ini terjadi karena pembelian pupuk bersubsidi telah dibatasi, sementara harga pupuk nonsubsidi malah melambung tinggi. Akibatnya, para petani bagaikan pepatah "besar pasak daripada tiang" artinya pengeluaran ongkos produksinya jauh lebih besar daripada penghasilan yang akan mereka dapatkan.
Selain itu, rantai distribusi yang panjang dari produsen ke konsumen turut menjadi masalah. Ketika beras berpindah tangan dari tengkulak, distributor, hingga agen, harga terus meningkat. Sementara petani tetap tidak mendapatkan keuntungan yang memadai. Tengkulak, distributor, dan agenlah yang memperoleh keuntungan besar, sementara petani hanya menanggung kerugian.
Maraknya praktik tengkulak yang membeli gabah dengan harga rendah saat panen menambah penderitaan petani. Mereka terjebak dalam situasi di mana mereka tidak memiliki banyak pilihan dan harus menyerah pada permainan harga yang dikendalikan oleh tengkulak.
Dominasi Oligarki dan Penguasaan Lahan
Sektor pertanian juga semakin dikuasai oleh oligarki dari hulu hingga hilir. Petani dengan modal kecil dan lahan terbatas semakin tergerus oleh pengusaha besar yang memiliki modal kuat serta teknologi canggih. Akibatnya, ketersediaan lahan bagi petani kecil semakin terbatas, sehingga produksi gabah pun menurun. Idealnya, skala ekonomi lahan minimum untuk petani adalah 2 hektare, namun sebagian besar petani di Indonesia hanya mengelola lahan kurang dari 0,8 hektare.
Tidak hanya itu, lahan pertanian makin sempit karena alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan, industri, dan komersial lainnya. Jika pada tahun 2018 luas lahan sawah di Indonesia mencapai 11,38 juta hektare, maka pada tahun 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare. Lahan pertanian mengalami penurunan hingga 10,28 persen dalam enam tahun terakhir. Ditambah lagi banyak petani yang lebih memilih menjual lahan mereka kepada pemodal daripada harus menanggung rugi akibat tingginya biaya produksi.
Kebijakan Impor, Mengancam Ketahanan Pangan
Salah satu sebab pemicu tingginya harga beras adalah kebijakan impor oleh negara. Meskipun faktanya kebijakan impor sering dianggap tidak tepat. Akan tetapi jika impor dilarang, maka pasokan beras dalam negeri akan berkurang sehingga akan mendorong kenaikan harga. Namun, jika impor dilakukan harga beras seakan memang terkendali, padahal ini juga berdampak pada kerugian petani lokal. Terjadi persaingan tidak sehat, sebab harga beras impor biasanya lebih murah dibandingkan beras lokal.
Dengan demikian ketergantungan pada impor beras membuat ketahanan pangan nasional terancam. Berdasarkan data BPS, impor beras melonjak sekitar 121,34 persen selama Januari hingga Agustus 2024, mencapai 3,05 juta ton atau senilai 1,91 miliar dolar AS. Angka ini meningkat tajam dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023, yang hanya sebesar 863,62 juta dolar AS.
Alih-alih untuk mewujudkan kedaulatan pangan, negeri yang kaya dengan lahan yang luas dan subur ini. Justru malah melakukan impor bahan pangan dari luar negeri. Sementara lahan pertanian yang ada justru dialihfungsikan menjadi gedung-gedung perkantoran, perumahan, hingga kawasan wisata. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan ekosistem, terancamnya produksi pangan, dan memburuknya kesejahteraan petani.
Cengkeraman Kapitalisme dalam Sektor Pertanian
Kondisi di atas menunjukkan bahwa cengkeraman kapitalisme sangat kuat di negeri ini. Negara lebih banyak bertindak sebagai regulator yang menguntungkan oligarki kapitalis melalui regulasi undang-undang yang hanya mengatur aspek teknis semata. Tanpa menyentuh dan memperhatikan akar masalah munculnya problem pangan. Akibatnya, lahirnya kebijakan pangan hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan (stok pangan) tanpa memperhatikan kegiatan produksi dan distribusi demi mewujudkan kesejahteraan petani.
Ketahanan dan kedaulatan pangan seharusnya tidak hanya terkait dengan tersedianya stok, tetapi juga memperhatikan bagaimana upaya negara dalam mengelola pangan agar dapat menyejahterakan rakyat. Sayangnya dalam sistem kapitalis sekuler, visi politik pangan terdistorsi oleh kepentingan pemodal besar. Pemerintah bahkan menyerahkan tanggung jawab pengelolaan pangan kepada sektor swasta, yang jelas tidak berpihak pada petani kecil.
Islam sebagai Solusi Kedaulatan Pangan
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang komprehensif terhadap kedaulatan pangan. Negara dalam sistem Islam berkewajiban memberikan subsidi besar kepada para petani, memastikan mereka dapat memproduksi pangan dengan biaya rendah, serta memperoleh keuntungan yang layak. Kesejahteraan petani sangat terkait dengan akses terhadap lahan pertanian, sarana produksi, dan dukungan teknologi.
Negara Islam juga mendorong pengelolaan lahan secara mandiri dengan mekanisme pengaturan yang jelas. Di antaranya adalah tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun akan diambil alih oleh negara dan didistribusikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Ini berdasarkan pada hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi, "Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya.”
Demikian pula dalam kebijakan distribusi, Islam juga memastikan tidak ada rantai distribusi yang panjang dan merugikan produsen pertama. Negara juga akan menjamin mekanisme pasar yang adil dengan melarang praktik penimbunan, penipuan, serta melindungi hak-hak para pedagang kecil. Dalam negara Islam, pangan bukan hanya soal bisnis, tetapi menyangkut kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara.
Menuju Kedaulatan Pangan dengan Islam Kafah
Sistem politik ekonomi Islam memberikan solusi yang mendasar untuk menciptakan kemandirian pangan. Dengan menerapkan kebijakan berbasis syariat, negara akan mewujudkan distribusi pangan yang adil dan merata, serta memastikan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah, maka kesejahteraan pangan yang mandiri dan berdaulat akan dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [MGN/MKC]