Alt Title

Menyoal Disalahgunakannya Kuota Haji

Menyoal Disalahgunakannya Kuota Haji



Sebagai negeri berpenduduk mayoritas umat Islam

Semestinya Indonesia mampu memberikan kemudahan fasilitas dan layanan kepada jemaah haji

______________________________


Penulis Reni Rosmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi Islam Kafah 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ibadah haji merupakan salah satu hal istimewa bagi umat muslim. Sayangnya, di negeri ini pelaksanaan ibadah haji tak luput dari tindak korupsi dan penyalahgunaan. Untuk mengusut masalah ini, DPR RI telah membentuk panitia khusus (Pansus) hak angket penyelenggaraan ibadah haji 2024. 


Tugas dari Pansus adalah mengevaluasi dan memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji yang terus menuai berbagai persoalan berulang. Pembentukan Pansus ini merupakan usulan dari Timwas (Tim Pengawas) DPR RI, yang menemukan adanya dugaan pengalihan kuota haji reguler menjadi haji khusus sebanyak 50% atau 8.400 orang, secara sepihak oleh Kemenag. 


Kemenag menetapkan kuota haji reguler menjadi 213.000, padahal awalnya sebanyak 241.000. Sementara untuk haji khusus terjadi penambahan kuota dari 19.280 menjadi 27.680. (Fajar.co.id, 24/6/2024)


Korupsi Penyelenggaraan Haji, Kok Bisa?


Jika ditelusuri, sebenarnya ada banyak hal yang membuat peluang terjadinya penyelewengan penyelenggaraan ibadah haji. Yaitu:


Pertama, minimnya ketakwaan individu. 


Kedua, dimonopolinya pelaksanaan ibadah haji dan umrah oleh Kemenag melalui penerapan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Di mana hal tersebut telah membuat Kemenag memiliki kewenangan sebagai regulator dan operator penyelenggara ibadah haji.


Kedudukan ini menjadikan Kemenag memiliki kontrol penuh atas penyelenggaraan haji, bukan hanya mengelola dana haji tetapi juga mengurus penginapan, konsumsi, dan transportasi jemaah. Akhirnya pengelolaan haji tidak transparan. 


Ketiga, longgarnya pengawasan negara dan lemahnya hukum yang ada. 


Keempat, adanya masa tunggu panjang dan kewajiban bagi jemaah haji membayarkan sejumlah uang sebagai persyaratan awal naik haji. 


Kelima, membudayanya circle korupsi dari hulu hingga ke hilir di negeri ini. 


Karena itu, untuk menyelesaikan masalah korupsi penyelenggaraan ibadah haji, tidak akan cukup dengan hanya membentuk Pansus. Apalagi jika berkaca pada yang sudah-sudah, nyatanya lembaga sekelas KPK pun belum mampu mengatasi korupsi. Tindak korupsi terus terjadi, bahkan menyasar dana haji.  


Setidaknya, ada beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan masalah korupsi penyelenggaraan haji, seperti:


Pertama, menerapkan sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi bertakwa. 


Kedua, penyelenggaraan ibadah haji, harus berada langsung di bawah kontrol negara, meski pelaksanaannya diberikan kepada lembaga seperti Kemenag, maupun BPIH. 


Ketiga, mengawasi tiap lembaga penyelenggara ibadah haji dan menindak tegas para pejabat yang terbukti melakukan penyelewengan. 


Keempat, menghilangkan masa tunggu dan persyaratan membayarkan sejumlah uang muka. 


Kelima, memburu pelaku korupsi dan menerapkan hukuman yang tegas lagi menjerakan.


Sayangnya, hal demikian belum dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah hanya mencukupkan diri dengan membentuk Pansus. Semua ini makin menampakkan ketidakberdayaan dan lemahnya negara dalam mengatur penyelenggaraan ibadah haji dan menyelesaikan tindak korupsi yang menyertainya. 


Sebagai negeri berpenduduk mayoritas umat Islam, semestinya Indonesia mampu memberikan kemudahan fasilitas dan layanan kepada jemaah haji. Apalagi ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan hanya bisa dilaksanakan setahun sekali.


Oleh karena itu, pelaksanaannya penting, dan ini semestinya dijamin oleh negara. Sayangnya, tidak demikian hari ini, bahkan masa tunggu yang lama, telah memungkinkan dana haji dipakai pemerintah untuk melakukan investasi, dengan dalih memperoleh keuntungan. Sungguh ini suatu kezaliman bagi jemaah haji. 


Tidak bisa dinafikan, penerapan sistem kapitalis telah menorehkan berbagai persoalan rumit dalam pelaksanaan ibadah haji. Pasalnya, sistem ini hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata, sehingga pelaksanaan ibadah haji pun bukan dipandang sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., melainkan sebagai persoalan ekonomi.


Itulah mengapa tak jarang pelaksanaan ibadah haji dijadikan ladang bisnis bancakan oleh oligarki dan negara. Ini bisa tampak dari mahalnya ongkos naik haji di Indonesia. 


Di sisi lain, sistem ini mengemban akidah sekularisme, sehingga meniscayakan individu-individu yang rawan melakukan tindak kejahatan (korupsi), sebab agama sudah tidak dijadikan pedoman kehidupan.


Sementara negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler, tidak hadir untuk melayani dan menjamin seluruh kebutuhan vital rakyat. Karena ia tak lebih dari sekadar regulator bagi kepentingan korporat. Maka wajar, negara tidak mampu menjamin pelaksanaan ibadah haji yang merupakan urusan rakyat. 


Pengaturan Ibadah Haji dalam Islam 


Islam telah menetapkan dengan rinci bagaimana cara yang benar mengurus pelaksanaan ibadah haji dan kebutuhan jemaahnya. Islam berprinsip pada paradigma ri'ayatu syu'un al-hujjaj wa al ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). 


Ada beberapa mekanisme penyelenggaraan ibadah haji menurut Islam. Seperti negara akan menjadi pihak pertama sebagai penyelenggara ibadah haji. Meski pelaksanaan haji diberikan kepada lembaga seperti Kemenag, tetapi negara tetap akan menjadi kontroling utama. Negara pun diharamkan menjadikan penyelenggaraan haji sebagai objek bisnis, pemasukan negara, ataupun ekonomi. 


Negara juga akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan ini untuk membentuk dan melahirkan individu-individu, hingga pejabat-pejabat yang bertakwa, amanah, dan tercegah dari perbuatan dosa.


Ditambah, suasana yang dibangun di lingkungan masyarakat pun adalah keimanan serta beramar makruf nahi mungkar. Alhasil secara otomatis akan mengontrol tingkah laku individu masyarakat. 


Negara pun akan membentuk departemen khusus yang bertugas mengurus haji dan umrah dari pusat hingga ke daerah. Negara pun akan mengawasi tiap lembaga penyelenggara ibadah haji serta menindak tegas pejabat yang terbukti melakukan korupsi/penyelewengan haji.


Adapun sanksi bagi pelaku korupsi adalah mulai dari takzir, menyita kekayaan yang dikorupsinya, memecatnya, di penjara, hingga dipublikasikan ke tengah publik. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.


Selain itu, negara akan membangun sarana dan prasarana juga memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai penunjang ibadah haji. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid yang membangun jalur haji dan saluran air dari Irak hingga Hijaz (Mekah-Madinah).


Selain itu, khalifah pun membangun pos-pos yang menyediakan logistik, makanan, dan dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Sehingga para jemaah haji merasa nyaman selama perjalanan. Bahkan sang khalifah pun tak segan-segan mengeluarkan dana pribadinya untuk memberangkatkan jemaah haji.


Kemudian, negara akan memberi kemudahan dan fasilitas maksimal bagi calon jemaah haji. Ongkos naik haji tidak akan semahal saat ini. Visa haji dan umrah pun tidak akan berlaku. Karena di dalam negara Islam, hakikatnya kaum muslimin berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat seperti hari ini. Ditambah, negara memiliki sumber pemasukan yang cukup besar, berasal dari jizyah, fa'i, ghanimah, kharaj, dan seluruh harta kepemilikan umum seperti SDA. 


Demikianlah cara Islam menjamin terselenggaranya pelaksanaan ibadah haji. Di bawah payung Islam, pelaksanaan ibadah haji akan berjalan optimal, tidak akan disalahgunakan oleh para pejabat sebagaimana dalam sistem kapitalis. Wallahualam bissawab. [DW-SJ/MKC]