Wakil Rakyat Terlibat Judol, Kok Bisa?
Opini
Menjamurnya praktik judi baik di kalangan masyarakat maupun penguasa, menjadi bukti bahwa demokrasi tidak pernah peduli terhadap perbuatan halal dan haram
Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia umat muslim, tetapi tidak menjamin terbebas dari praktik judi
______________________________
Penulis apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tidak cukup menyandang gelar lembaga paling korup, kini DPR juga menyandang gelar tambahan sebagai pemain judi online (Judol). Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat 82 orang anggota DPR yang diduga bermain judol.
Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang disebutkan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada saat rapat Komisi III dengan PPATK pada tanggal 26 Juni 2024 kemarin. Terungkap ada lebih dari 1000 anggota DPR dan DPRD yang bermain judol, dengan transaksi lebih dari 63.000 dengan agregat deposit sampai ratusan juta hingga 25 miliar rupiah. (Kompas, 28/06/2024)
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, berharap agar data PPATK secepatnya diteruskan ke MKD agar ditindaklanjuti. Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Alhabsy, mendesak agar MKD mulai bertindak tanpa menerima laporan. Ia meminta laporan PPATK langsung ditindaklanjuti.
Politikus PKS ini meyakini bahwa temuan PPATK adalah bukti bahwa judi online adalah penyakit sosial di masyarakat. Dia juga menekankan bahwa negara perlu hadir untuk menyelesaikan penyakit sosial yang telah membebani rakyat ini. Sebab selain mencoreng citra dan etika, para pelaku judol anggota DPR maupun DPRD ini, mereka tetap harus digaji oleh negara, terlepas dari apa pun latar belakang perbuatannya. (Tirto, 27/06/2024)
Demokrasi Melanggengkan Judi
Menjamurnya praktik judi baik di kalangan masyarakat maupun penguasa, telah menjadi bukti bahwa demokrasi tidak pernah peduli terhadap perbuatan halal dan haram. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia adalah umat muslim, tetapi tidak menjamin terbebas dari praktik judi.
Hal ini karena masyarakat Indonesia tidak diatur dengan syariat Islam. Syariat Islam hanya diterapkan terbatas pada individu. Sedangkan sistem negara diatur oleh sistem demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme, dengan prinsip dasarnya memisahkan aturan agama dari aturan kehidupan.
Contohnya masalah judi. Sebagai seorang muslim kita paham, bahwa judi adalah perbuatan haram yang dilarang oleh syariat Islam. Namun, dalam demokrasi walaupun judi sudah terbukti merusak, tetapi tidak dapat langsung diputuskan terlarang. Karena keputusan harus ditetapkan oleh sidang di parlemen, dan harus disetujui secara mufakat. Di dalam demokrasi, posisi manusia yang menjabat sebagai wakil rakyat lebih tinggi dibanding Allah Swt..
Dengan kata lain, dalam demokrasi kedaulatan Allah Swt. dalam menetapkan aturan telah diganti oleh kedaulatan rakyat. Di mana rakyat telah diberikan hak untuk membuat undang-undang, padahal justru kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sumber masalah. Sebab akal dan nafsu yang dimiliki oleh manusia memiliki peluang untuk menetapkan berbagai aturan dan keputusan yang melampaui batas.
Memberantas Judi dengan Solusi Hakiki
Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia berikut dengan seperangkat aturan sebagai pedoman lengkap dan paripurna untuk bekal manusia mengarungi terjalnya kehidupan. Allah Swt. telah menetapkan aturan bagi manusia di seluruh aspek kehidupannya baik secara pribadi, masyarakat, hingga bernegara.
Akan tetapi, manusia justru telah membuang dan hanya mengambil sebagian saja. Kemudian justru mengambil sekularisme, padahal sekularisme telah nyata-nyata menjauhkan keimanan, ketaatan serta membatasi aturan agama sekadar mengatur urusan-urusan pribadi. Sedangkan aturan Allah dalam hal bermasyarakat dan bernegara ditinggal begitu saja.
Maka, tidaklah aneh jika persoalan judi menjadi penyakit kronis di masyarakat maupun di kalangan DPR dan DPRD. Oleh karena itu, untuk memberantas maraknya judi butuh solusi hakiki, yaitu dengan cara mengembalikan aturan Allah ke dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Adapun langkah-langkahnya adalah:
Pertama, mengembalikan segala aktivitas masyarakat pada pandangan politik Islam. Di dalam sistem Islam kafah makna politik adalah riayah as-su’unil ummah atau mengurus seluruh kepentingan rakyat. Tujuan politik dalam Islam adalah mengatur berbagai kebijakan dalam dan luar negeri yang akan berpihak kepada rakyat, bukan berpihak pada oligarki. Keberpihakan kepada rakyat semata-mata demi mewujudkan tegaknya aturan. Misalnya aturan tentang keharaman judi, sebab Al-Qur'an sudah jelas-jelas melarang aktivitas judi.
Seperti firman Allah Swt. yang artinya; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah: 90)
Selain itu, dalam politik Islam tidak ada lembaga legislatif seperti DPR yang dipilih melalui pemilu yang penuh dengan intrik kecurangan dan sangat mubazir. Bahkan setelah terpilih, tidak ada jaminan bahwa mereka akan amanah dan tulus bekerja hanya untuk rakyat.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, representasi umat akan diwujudkan melalui lembaga Majelis Umat. Umat akan memilih orang-orang yang akan menjadi wakil bagi kaum muslim untuk menyampaikan pendapat. Pendapat mereka berfungsi sebagai bahan pertimbangan bagi khalifah dalam memutuskan kebijakan-kebijakan bagi kepentingan rakyat.
Anggota Majelis Umat juga dipilih langsung oleh penduduk setempat, tanpa melalui pemilu yang panjang dan menguras banyak dana. Karena pemilu dalam Islam ketika melakukan kampanye, tidak membutuhkan dana yang sangat besar.
Oleh karena itu, anggota Majelis Umat yang terpilih pun akan fokus pada tugas utamanya, yaitu mewakili umat dan tidak akan teralihkan pada aktivitas lain. Misalnya sibuk untuk mengembalikan modal pencalonan dirinya, korupsi, apalagi judol.
Kedua, menjamin pemerataan kebutuhan-kebutuhan rakyat, seperti kebutuhan pendidikan yang terjangkau misalnya. Pendidikan merupakan hajat hidup semua orang, tidak ada pengecualian. Maka sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Melalui pendidikan, kepribadian generasi Islam akan terbentuk, yaitu kepribadian yang jujur, berintegritas, amanah, dan patuh pada hukum syarak.
Ketiga, diterapkannya sanksi takzir bagi pelaku judi, yaitu sanksi yang mencerminkan kesempurnaan hukum Islam bagi pelaku zarimah (kriminal). Di dalam Islam, setiap sanksi terdapat manfaat di dalamnya. Selain sebagai pencegah (zawajir), sanksi tersebut juga berfungsi sebagai penebus (jawabir).
Artinya, fungsi sanksi sebagai pencegah, karena akan mencegah manusia dari tindakan kriminal yang serupa. Selanjutnya sebagai penebus, karena hukuman yang diterima oleh pelaku berfungsi untuk menebus dosanya dari azab Allah pada hari kiamat, karena pelaku sudah menerima hukumannya di dunia.
Seluruh solusi hakiki ini hanya dapat terwujud ketika sistem Islam kafah diterapkan dalam kehidupan bernegara, yaitu dalam naungan Daulah Islamiyyah. Hal ini telah terbukti, saat Daulah Islam tegak selama 14 abad dengan menerapkan seluruh hukum Islam secara sempurna.
Tanpa tebang pilih, tanpa kata tapi, umat Islam telah hidup dengan penuh ketundukan dan kesempurnaan kepada Allah Swt.. Tanpa khawatir akan terpapar maksiat seperti dalam sistem sekuler saat ini. Wallahualam bissawab. [MP-SJ/MKC]