Islam Membawa Kesejahteraan, Berkah Tanpa Riba
Opini
Riba dalam sistem kapitalisme liberal adalah salah satu cara menumpuk kekayaan atau mengembangkan harta
Lagi-lagi yang diuntungkan tentu saja para pemilik modal
______________________________
Penulis Iis Siti Nurasipah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Harapan terbesar pedagang selain mendapat laba dari penjualannya adalah memiliki lapak/kios sendiri. Hal ini pun dirasakan oleh para pedagang di pasar sehat Banjaran, Kabupaten Bandung. Namun impian itu harus pupus karena harga kios yang tinggi.
Dilansir oleh Media Indonesia (10/06/2024), sebagai wujud dukungan pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dan memperkuat ekosistem bisnis lokal, Bank DKI dan PT Bangun Niaga Perkasa menjalin kerja sama untuk memberikan fasilitas kredit kepemilikan tempat berjualan di Pasar Sehat Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Bagi pedagang yang berminat memperoleh fasilitas kredit untuk pembelian kios, los, lapak, dan lokasi usaha di wilayah Pasar Sehat Banjaran dapat mengajukan permohonan dengan melampirkan persyaratan.
Cukup dengan surat permohonan fasilitas kredit, salinan KTP, surat rekomendasi dan sejumlah persyaratan lain. Pernyataan ini dibenarkan oleh Sekretaris Perusahaan Bank DKI, Arie Rinaldi. Beliau menuturkan perusahaan memiliki komitmen kuat untuk mendukung UMKM.
Sebagaimana diketahui bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang memberikan pinjaman modal yang berbasiskan keuntungan berupa spread effect (selisih antara bunga pinjaman dan uang simpanan) dengan sekian persen dan pendapatan bunga yang lain. Maka sejatinya pemberian kredit itu bukanlah membantu para pedagang tetapi menjerat mereka dengan utang ribawi.
Sementara riba dalam sistem kapitalisme liberal adalah salah satu cara menumpuk kekayaan atau mengembangkan harta. Lagi-lagi yang diuntungkan tentu saja para pemilik modal.
Riba adalah ruhnya kapitalis untuk meraih untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan norma dan aturan agama. Negara yang menganut paham kapitalisme pun tidak jauh beda. Demi meningkatkan perekonomian dalam negeri, segala upaya akan dilakukan asalkan dapat untung besar, tanpa harus bersusah payah, tanpa peduli orang lain terbebani/sengsara. Tidak sedikit umat Islam dan negara muslim yang terjerumus ke dalam aktivitas riba baik secara sadar maupun tidak.
Banyak negara yang sistem ekonominya berbasis ribawi mengalami kebangkrutan akibat terjerat debt trap (jerat utang) yang dalam, jangankan membayar pokoknya untuk membayar bunganya saja kesulitan.
Seperti yang dialami Sri Lanka yang bergantung pada utang luar negeri dari negara-negara kapitalis termasuk Cina dan lembaga rentenir multinasional seperti IMF dan Bank Dunia. Nasib Sri Lanka saat itu setelah kebangkrutannya mengalami kelaparan, hidup tanpa listrik, kesulitan mendapatkan BBM, rumah-rumah sakit kehabisan obat, pengangguran meningkat, kejahatan di mana-mana, aset-asetnya tergadaikan serta kedaulatan negara dikuasai asing.
Bagi para pedagang, pasar selain sebagai sarana ekonomi dengan aktivitas jual belinya tapi juga menjadi sumber mata pencaharian bagi mereka. Pembangunan pasar agar lebih bersih dan modern sebetulnya tidak menjadi masalah, karena ini akan meningkatkan kenyamanan serta minat pembeli. Yang jadi persoalan adalah pedagang akan kesulitan mendapatkan lapak baru dengan biaya yang pasti lebih mahal.
Maka ketika pemerintah memberikan kebijakan agar para pedagang membeli kios dengan cara kredit bukanlah solusi yang bijak, mengingat kredit dalam sistem kapitalisme saat ini sarat dengan bunga yang berlipat. Akhirnya, bagai buah simalakama, tidak diambil akan kehilangan sumber pendapatan. Namun apabila diambil, hasil penjualan belum tentu cukup untuk membuat cicilan pokok beserta bunganya.
Dalam pemerintahan Islam, kewajiban negaralah menyediakan infrastruktur semisal pasar berikut fasilitas serta keamanannya. Karena kewajibannya itu, negara akan memberikan modal usaha tanpa bunga, serta memegang kendali penuh terhadap kondusifitas pasar, salah satunya dengan menempatkan qadhi hisbah di dalamnya, yakni hakim yang diberi wewenang oleh negara untuk menjaga hak umum dari praktik penipuan/kecurangan.
Selain tanggung jawab tersebut, negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan kolektif masyarakat, di antaranya pendidikan dan kesehatan. Sehingga para pedagang khususnya dan masyarakat umumnya bisa merasakan kesejahteraan.
Dalam sistem ekonomi Islam, riba bukanlah cara yang halal untuk mendapatkan kekayaan atau keuntungan. Oleh karena itu, negara yang berasaskan akidah Islam akan menghapus praktik ribawi di tengah masyarakat. Ini adalah bentuk tanggung jawab lain yang ditunjukkan oleh negara yang menerapkan syariat.
Riba hukumnya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar dan perbuatan yang terlaknat. Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Rasulullah telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengan riba, penulisnya dan dua orang saksinya." (HR. Muslim).
Sungguh Islam memiliki konsep yang paripurna, termasuk dalam hal pembiayaan pembangunan pasar, karena Islam memiliki sistem keuangan yang kokoh. Pendapatan sistem keuangan negaranya mempunyai berbagai macam pos yang produktif, yakni pos fa'i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat yang hanya disalurkan kepada delapan asnaf.
Ini dipahami dari konsep kepemilikan yang terdiri atas tiga jenis, yakni kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan individu.
Maka hanya dengan kembali menerapkan sistem Islam secara kafah, segala persoalan ekonomi global dan nasional akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Wallahualam bissawab. [SJ]