Alt Title

KDRT Terus Berulang, Lemahnya Fungsi Perlindungan Keluarga

KDRT Terus Berulang, Lemahnya Fungsi Perlindungan Keluarga

 


Tampaknya, rasa aman kian mahal dalam sistem sekularisme dan kapitalisme

Wajar jika tak terwujud keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah

______________________________


Penulis Sherly Agustina, M.Ag.

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kasus KDRT terus berulang, di Tapanuli Utara (Taput) seorang kakek tega mencabuli keponakan perempuannya yang berusia 11 tahun. Kasi Humas Polres Tapanuli Utara Aiptu Walpon Baringbing mengatakan, pencabulan terungkap atas bantuan tetangganya seorang saksi 14 tahun yang tak sengaja memergoki pelaku sedang melecehkan korban.


Si kakek berhasil dibekuk Kamison (21/3). Atas perbuatannya, pelakul dijerat Pasal 76E juncto Pasal 82 ayat 1 UU No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun. (Kumparannews.com, 22/03/2024)


Di tempat lain yaitu di Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang Sumut, seorang menantu laki-laki bernama Joni Sing (49 tahun) tega membacok ibu mertuanya, Sanda Kumari. Hal ini disebabkan pelaku kesal saat ditegur oleh ibu mertuanya karena melakukan KDRT kepada istrinya.


Kapolrestabes Medan Kombes Pol Teddy Marbun mengatakan, aksi pembunuhan itu dilakukan pada Senin (11/3) sekitar pukul 05.30 WIB. Sementara, pelaku berhasil ditangkap Kamis (21/3) malam. (Kumparannews.com, 22/03/2024)


Rasa aman dan nyaman dalam keluarga seakan mahal, jika melihat kasus KDRT terus berulang. Istri dianiaya suami, keponakan dicabuli kakek, mertua dibunuh menantu, dan masih banyak jenis KDRT yang terus terjadi.


Pertanyaannya, mengapa dalam keluarga tak tercipta rasa aman? Mengapa seorang suami tak mampu melindungi istri, ayah, dan kakek pun tak bisa melindungi anak dan keponakan? 


Faktor Penyebab 


Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah dalam diri manusia itu sendiri yaitu akidah yang lemah yang seharusnya menjadi self control dalam ucapan dan perbuatan.


Adapun faktor eksternal yaitu lingkungan, ekonomi, sosial media, dan sistem yang diterapkan saat ini oleh negara. Lingkungan yang kurang baik akan memengaruhi ucapan dan perilaku seseorang, entah menjadi mudah marah atau sumbu pendek, dan lain-lain.


Sosial media yang mudah diakses, di mana banyak konten kekerasan dan pornografi yang bisa saja ditiru oleh siapa pun. Kesulitan ekonomi pun menjadi salah satu pemicu retaknya rumah tangga, dan percekcokan antara suami dan istri hingga terjadi KDRT.


Hal yang utama sistem yang diterapkan saat ini yaitu sekularisme, di mana agama tidak boleh masuk ke ranah kehidupan umum dan negara. Akibatnya, agama bukan menjadi tolok ukur dalam setiap ucapan dan perbuatan. Ditambah sistem kapitalisme yang menyebabkan kesenjangan si miskin dan si kaya kian menganga. 


Memang, ada UU yang mengatur tentang KDRT yaitu Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang sudah 20 tahun disahkan.


Namun ternyata keberadaannya kurang signifikan. Karena ternyata kasus KDRT di negeri ini masih tinggi. Nyata, hukum buatan manusia memiliki kelemahan karena dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas. 


Padahal, harusnya keluarga menjadi tempat perlindungan terakhir bagi umat serta tempat yang memberikan rasa aman penuh kasih sayang bagi para anggota keluarga. Tampaknya, rasa aman kian mahal dalam sistem sekularisme dan kapitalisme. Wajar jika tak terwujud keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. 


Pandangan Islam 


Berbanding terbalik dengan sekularisme, Islam sangat memperhatikan rasa aman dan perlindungan dalam sebuah keluarga. Pembekalan akidah hal utama yang dilakukan agar setiap muslim memiliki pondasi yang kuat dalam mengarungi kehidupan dan menjalani rumah tangga. 


Sebelum menikah, hendaknya seorang muslim mempelajari ilmu pernikahan misalnya tentang hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Akidah dan agama menjadi fondasi dalam membangun sebuah rumah tangga, tujuannya adalah hanya mengharap rida Allah semata. 


Suami dan istri saling melengkapi satu sama lain, saling mengingatkan dalam kebaikan dan terikat pada syariat-Nya. Karena paham, bahwa hanya dengan melaksanakan syariat akan mendapat maslahat (kebaikan).


Antara suami dan istri terus berupaya agar dalam proses berjalannya pernikahan tidak keluar dari 'rel' syariat. Selain itu, negara sangat memperhatikan kebutuhan rakyat baik kebutuhan pokok individu dan kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan kemanan. 


Apabila kebutuhan pokok dan individu sudah dijamin oleh negara, beban setiap rumah tangga menjadi ringan. Setiap keluarga akan fokus mendidik anak dengan baik agar menjadi anak yang saleh memberikan manfaat yang banyak untuk umat.


Suasana pernikahan dalam Islam idealnya dihiasi dengan keimanan dan kasih sayang, rumah menjadi tempat memberikan rasa aman dan perlindungan. Dengan demikian, akan lebih mudah tercapai keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah (QS. Ar-Rum: 21).


Mengapa saat ini setiap keluarga mengalami kesulitan? Selain sulit mendapatkan kerja, biaya pendidikan salah satunya mahal. Walau negara menyediakan sekolah negeri, tetapi kualitasnya belum merata.


Tak heran jika ada yang ingin mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas mengeluarkan cuan yang tak sedikit. Namun, tak semua orang bisa melakukan hal tersebut. Dalam kapitalisme, hal ini berimplikasi pada pendidikan yang rendah sulit mendapat kesejahteraan yang layak.


Tak ada aturan yang lebih sempurna selain aturan Islam. Oleh karena itu, masihkah kita berharap pada aturan selain Islam?


Padahal, aturan Islam sudah terbukti dalam sejarah memberikan kesejahteraan dan keamanan pada setiap warga negara dan anggota keluarganya. Wallahualam bissawab. [SJ]