Fenomena Caleg Gagal, Potret Buram
Opini
Berbagai fasilitas yang disediakan sudah membayang-bayangi hingga pelupuk mata
Sampai mereka rela membeli suara rakyat walaupun harus merogoh kocek yang sangat besar
___________________
Penulis Elin Nurlina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pemilu telah usai, pesta demokrasi juga telah selesai. Kalah menang adalah fakta yang akan dihadapi oleh para kontestan. Jika menang mereka gembira, tetapi jika kalah siap-siap menelan kekecewaan. Bahkan, lupa diri hingga akhirnya lebih baik meregang nyawa.
Begitulah faktanya, impian hasil suara yang mencapai target nyatanya banyak yang tidak sesuai harapan. Berbagai fenomena caleg yang gagal terpilih dan tim sukses bertebaran di mana-mana. Mulai dari stres, bahkan bunuh diri hingga menarik Kembali pemberian pada Masyarakat.
Sebagaimana dikutip dari (okenews,com 25/02/2024) menimpa seorang caleg DPRD kabupaten Subang, Jawa Barat. Dia membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Selain itu, caleg tersebut menyalakan petasan di menara mesjid di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang. Aksi teror petasan ini dilakukan siang dan malam bersama pendukungnya di sejumlah titik yang perolehan suaranya rendah. Akibat aksinya tersebut, seorang warga bernama Dayeuh (60) meninggal dunia karena terkena serangan jantung.
Bukan hanya di Subang, fenomena penarikan kembali pemberian bersyarat terjadi di desa Jambewangi, kecamatan Sempu, Banyuwangi Jawa Timur, caleg yang kalah suara, menarik kembali material paving block yang diberikan kepada warga desa. Sementara, di daerah Jawa Barat terdapat dua orang tim sukses yang mengalami depresi usai gagal menghantarkan caleg jagoannya meraih suara. Padahal caleg tersebut digadang-gadang bakal memperoleh suara terbanyak. Namun nyatanya fakta berkata lain. Lebih miris ada caleg yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di sebuah pohon.
Sungguh memprihatinkan, adanya fenomena tersebut menggambarkan betapa lemahnya kondisi mental para caleg maupun para tim suksesnya. Mereka hanya siap menang tetapi tidak siap menerima kekalahan. Fenomena ini menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diidam-idamkan dan dikejar-kejar. Tentu, mereka berupaya habis-habisan mengingat jika mereka menang dalam kompetisi itu keuntungan besar akan mereka dapatkan.
Berbagai fasilitas yang disediakan sudah membayang-bayangi hingga pelupuk mata. Sampai mereka rela membeli suara rakyat walaupun harus merogoh kocek yang sangat besar. Hal itu mereka lakukan demi mendapatkan simpati dan suara rakyat. Janji-janji perubahan begitu manis senantiasa mengalir deras dari para caleg. Semuanya menawarkan janji yang terkesan pro rakyat, peduli, empati pada hal-hal yang dibutuhkan rakyat.
Namun, ketika kalah banyak yang tidak siap. Kepedulian mereka dengan pemberian saat kampanye mereka tarik kembali sebagaimana kasus di atas. Inilah dampak dari penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme, sendi-sendi kehidupan dalam seluruh aspek makin rusak dan menyesakan dada. Sistem politik menjadi kotor dan keji karena mengenyampingkan aturan Allah. Sebab, legalitas kekuasaan politik demokrasi kapitalisme dilihat berdasarkan suara mayoritas belaka.
Money politic bersembunyi di balik sedekah politik sudah menjadi rahasia umum. Di sisi lain, betapa model pemilu dalam sistem demokrasi saat ini sangatlah rumit, mahal biaya, penuh kecurangan, tipuan, janji-janji manis dan harapan palsu. Saling berebut kekuasaan demi kepentingan dunia sesaat menjadi sesuatu yang mesti mereka perjuangkan. Ketika menang mereka berupaya keras mencari cara untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan saat kampanye.
Tak heran menang korupsi, kalah depresi. Pasca pemilu nasib umat malah makin pilu, sungguh ironis. Dari sini seharusnya kita sadar bahwa tidak ada yang bisa kita harapkan ada perubahan lebih baik dari pemilu yang lahir dari sistem demokrasi sekuler ala kapitalisme. Sebab, demokrasi bersumber dari filsafat spekulatif ala para filosof yang terbukti mengandung banyak sekali cacat mendasar. Adapun paling berbahaya bagi akidah adalah diletakannya kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya yang berhak membuat hukum atau menetapkan hukum berada di tangan manusia.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam mengajarkan bahwa kedaulatan yakni hak membuat hukum, menetapkan halal-haram, benar-salah hanya ada ditangan Allah semata melalui syariatnya. Syariat menjadi tolok ukur dalam kehidupan masyarakat dan negara. Termasuk dalam hal jabatan. Islam memandang jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.
Siapapun yang akan mengemban amanah harus terikat dengan aturan syariat. Cara-cara yang ditempuh harus sesuai hukum syarak. Dalam Islam, pemilu adalah uslub untuk mencari pemimpin/majelis umah, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon memiliki kepribadian Islam dan mengharap keridlaan Allah semata. Kepala negara dipilih untuk melaksanakan syariah secara kafah dan wakil rakyat dipilih untuk mewakili aspirasi yang diwakilinya, bukan membuat atau menetapkan hukum. Wallahualam bissawab. [Dara]