Alt Title

Tarif Tol Naik, Bukti Rusaknya Sistem Kapitalistik

Tarif Tol Naik, Bukti Rusaknya Sistem Kapitalistik

 


Dalam pandangan Islam, jalan terkategori milik umum. Oleh karena itu, ketika negara membangun jalan tol itu, mestinya ditujukan sebagai pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat. Sehingga negara dilarang untuk mengomersialisasikannya

 Pembangunan infrastruktur yang merupakan kepemilikan umum yang wajib dilakukan oleh pemerintah, tidak boleh kerja sama dengan swasta

______________________________


Penulis Ummi Nissa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bagi pengguna jalan tol, harus siap-siap merogoh kocek yang semakin banyak, karena tarifnya akan dinaikkan. Sebanyak 13 ruas jalan tol rencananya akan mengalami penyesuaian tarif pada kuartal I-2024. Kenaikan Itu termasuk ruas-ruas tol yang jadwal penyesuaian tarifnya pada tahun 2023 tetapi masih dalam proses, sehingga tetap akan disesuaikan pada tahun 2024.  


Kebijakan penyesuaian tarif tol tersebut sesuai dengan ketetapan hukum Undang-Undang Jalan No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Di dalam Pasal 48 Ayat 3 dinyatakan bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan secara berkala setiap dua tahun sekali. Hal ini berdasarkan pengaruh laju inflasi dan evaluasi terhadap pemenuhan SPM jalan tol. (kompas.com, 15 Januari 2024)


Penyesuaian tarif tol juga dibutuhkan untuk memastikan agar iklim investasi jalan tol tetap kondusif. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan tol yang prospektif di Indonesia, juga demi menjamin level of service pengelola jalan tol tetap sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol.


Komersialisasi Jalan Tol


Jalan raya adalah salah satu infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat umum untuk akses mobilitas kehidupan sehari-hari. Untuk itu, keberadaannya menjadi hal yang vital dan menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Demikian pula jalan tol yang dapat mempermudah mobilitas manusia di zaman yang sudah maju seperti saat ini, keberadaannya menjadi kebutuhan.


Sayangnya, negara saat ini membangun infrastruktur seperti jalan tol justru melibatkan pihak swasta sebagai investor, baik dalam negeri ataupun asing. Akibatnya ada komersialisasi dalam pemanfaatannya. Sebab orientasi dari para investor tentu mendapatkan profit (keuntungan) dari modal yang telah mereka keluarkan.


Maka tidak heran jika kenaikan tarif secara berkala menjadi aturan main yang ditetapkan negara berdasarkan kepentingan investor. Oleh sebab itu, penggunaan jalan tol pun terbatas pada masyarakat yang mampu untuk membayar tarifnya, hingga tidak semua rakyat dapat memanfaatkan keberadaan jalan tol.


Demokrasi Kapitalis Menyengsarakan Rakyat


Kerja sama pemerintah dengan swasta dalam memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan ciri khas dari penerapan sistem demokrasi kapitalis saat ini. Dalam sistem ini, kebijakan negara dalam berbagai aspek kehidupan dibuat berdasarkan kepentingan pemilik modal atas nama rakyat. Regulasi ini dibuat sebagai legalisasi pihak swasta dalam memperoleh keuntungan dari investasi yang mereka keluarkan.


Dengan demikian sistem demokrasi kapitalis menjadikan hubungan penguasa dengan rakyat ibarat penjual dengan pembeli. Penguasa ditunggangi pengusaha sebagai pihak penjual berorientasi untuk mendapatkan untung dari usahanya.


Sementara rakyat menjadi konsumen yang dapat memberikan keuntungan. Demikian pula hal itu berlaku bagi penggunaan jalan tol. Kenaikan tarif tol secara berkala hanya akan mempertebal kantong-kantong pengusaha swasta maupun asing. 


Inilah realitas sistem demokrasi kapitalis yang hanya menyengsarakan rakyat. Infrastruktur dibangun hanya untuk kepentingan bisnis. Sementara infrastruktur yang menjadi kebutuhan rakyat abai dari tanggung jawab penguasa.


Betapa banyak jembatan yang roboh akibat rapuh dan bahan yang tidak kokoh hingga menimbulkan kecelakaan. Jalan desa yang rusak akibat hujan dan tidak kunjung diperbaiki mengakibatkan akses masyarakat juga sulit. Terkadang pemerintah daerah dan pemerintah pusat saling lempar tanggung jawab.


Pandangan Islam


Berbeda dengan demokrasi kapitalis, Islam memandang pembangunan jalan raya adalah bagian dari pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok dan penting untuk umum (al-marafiq 'aam). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., "Imam (pemimpin) adalah raa'in (pelayan), ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari).


Oleh sebab itu, penguasa wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat termasuk di dalamnya keberadaan jalan. Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab ra. jalan termasuk hal yang menjadi perhatiannya.


Sampai Umar mengatakan, "Seandainya ada seekor unta yang masuk ke suatu lobang di tengah jalan kota Baghdad, maka aku akan bertanggung jawab dan akan ditanya oleh Allah Ta'ala pada hari kiamat nanti."


Apa yang terjadi pada masa Umar tersebut, menunjukkan tanggung jawab pemimpin untuk membangun infrastruktur jalan yang layak dan aman. Tanggung jawab tersebut tidak hanya di dunia tetapi sampai akhirat kelak. 


Dalam pandangan Islam, jalan terkategori milik umum. Oleh karena itu, ketika negara membangun jalan tol itu, mestinya ditujukan sebagai pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat.


Sehingga negara dilarang untuk mengomersialisasikannya. Pembangunan infrastruktur yang merupakan kepemilikan umum yang wajib dilakukan oleh pemerintah, tidak boleh kerja sama dengan swasta.


Adapun anggaran yang digunakan untuk kepentingan rakyat diambil dari Baitulmal pos kepemilikan umum. Sebab baitulmal dalam Islam bukan hanya sekadar tempat penyimpanan harta, tetapi juga merupakan pengelolaan pendapatan dan pengeluaran.


Dengan sistem ekomomi Islam negara memiliki banyak pos pendapatan salah satunya hasil dari kepemilikan umum. Hal tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Semuanya hanya akan terwujud jika diterapkan aturan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [SJ]