Alt Title

Utang Negara Melambung Tinggi, Negara Tidak Boleh Anggap Enteng

Utang Negara Melambung Tinggi, Negara Tidak Boleh Anggap Enteng

Makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang. Inilah ciri-ciri sistem sekulerisme kapitalisme yang hanya menginginkan keuntungan belaka. Mereka berani memberi utang, tetapi menantikan bunga yang berlipat

Lantas, dimanakah kesejahteraan dan keberkahan hidup di tengah-tengah umat jika lingkungan hidup dibangun berdasarkan muamalah yang mengundang murka Sang Pencipta, Allah Swt.?

_________________________


Penulis Ledy Ummu Zaid

Kontributor Media Kuntum Cahaya 

 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Apa yang terpikirkan jika memiliki utang sebesar delapan ribu triliun rupiah? Rasanya pasti seperti kiamat sudah dekat. Uang dari mana kiranya yang bisa digunakan untuk melunasi utang sebanyak itu? Ya, pertanyaan ini seharusnya kita sampaikan kepada negara. Asli bukan palsu, utang sebesar itu ternyata dimiliki oleh negeri ini. Bagaimana tidak pusing memikirkan solusinya, menuliskan angkanya saja rasanya sudah membuat pusing kepala. Namun, apakah penguasa negeri sudah serius mencari solusinya, atau masih menganggap enteng?

 

Dilansir dari laman gatra[dot]com (31/12/23), Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari mengatakan pinjaman pemerintah baik dari dalam maupun luar negeri masih dalam posisi wajar dan aman. Hal ini didasarkan pada posisi utang pemerintah yang didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan Pinjaman sebesar Rp916,03 triliun (11,39% dari total utang).

 

Selanjutnya, dilansir dari laman antaranews[dot]com (22/12/23), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan pernyataan yang serupa terkait utang Indonesia yang masih aman. “Tentu kita lihat (rasio) utang kita tetap di bawah 40 persen, terendah dibandingkan negara maju yang bahkan di atas 100 persen juga negara berkembang yang lain. Jadi relatif ini masih hati-hati,” katanya di sela acara Seminar Nasional Perekonomian Outlook Indonesia di Jakarta, Jumat (22/12). Menurut Airlangga, sejauh ini utang tersebut telah digunakan dengan baik, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. 

 

Terakhir, masih pernyataan yang serupa mengenai utang negara yang dianggap enteng. Dilansir dari laman yang berbeda amp[dot]kontan[dot]co[dot]id (29/12/23), Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengatakan rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sejauh ini mencapai 38,11% masih cukup aman. Adapun rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir tahun 2022 dan berada di bawah batas aman, yakni 60% dari PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.       

 

Statement utang terkendali dan berdampak positif merupakan statement yang berbahaya. Bagaimana tidak, karena statement yang mengentengkan utang tersebut dapat mempengaruhi rakyat dalam memandang enteng juga terhadap utang negara. Adapun utang kepada negara lain membuat ketergantungan pada negara asing dan membahayakan kedaulatan negara. Jadi rakyat dan penguasa bisa merasa tenang-tenang saja meski hidup dalam bayang-bayang utang yang menggunung.

 

Di sisi lain, negara Barat juga akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara karena paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang. Inilah ciri-ciri sistem sekulerisme kapitalisme yang hanya menginginkan keuntungan belaka. Mereka berani memberi utang, tetapi menantikan bunga yang berlipat. Lantas, dimanakah kesejahteraan dan keberkahan hidup di tengah-tengah umat jika lingkungan hidup dibangun berdasarkan muamalah yang mengundang murka Sang Pencipta, Allah Swt.?

 

Dalam sistem Islam, seharusnya negara dapat mandiri dalam menstabilkan sistem ekonominya. Adapun dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) juga harus berdasarkan aturan Islam.


Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah)


Oleh karena itu, memperjualbelikan SDA yang mana sebagai kepemilikan umum kepada para pemilik modal, bahkan kepada asing, hal ini jelas suatu keharaman. Karena Islam yang menjadikan negara mandiri atau berdaulat dengan pengelolaan SDA sesuai tuntunan Islam tersebut, maka keuangan negara akan kokoh dan tidak terjerumus pada jeratan utang ribawi. 

 

Islam juga mendorong negara menjadi negara adidaya dan terdepan. Dalam sistem ekonomi misalnya, negara akan memiliki sumber keuangan berupa Baitul Mal. Adapun tujuan dari Baitulmal pada Daulah atau negara Islam adalah untuk mengatur harta yang didapat negara untuk kemudian didistribusikan kepada setiap individu rakyat dengan cara yang makruf. Oleh karenanya, pajak yang seperti hari ini sangat mencekik rakyat tentu tidak akan kita temui. Untuk memenuhi Baitulmaal, negara akan mengambil pendapatan dari beberapa sumber. Pertama, pos fa’i, kharaj dan jizyah. Kedua, hasil pengelolaan kepemilikan umum. Ketiga, sumber pendapatan lain, seperti zakat harta, zakat pertanian, zakat ternak, dan zakat perniagaan emas dan perak.

 

Adapun pos fa’i adalah harta yang dikuasai umat Islam dari harta kaum kafir yang tidak melalui peperangan, misalnya harta Bani Nadhir pada zaman Nabi Muhammad saw. Kemudian, kharaj disebut juga pajak tanah (land tax), yaitu harta yang diambil oleh pemerintahan Islam dari tanah kharajiyah, yaitu tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (kharaj 'unwah) atau melalui perjanjian damai (kharaj shuluh). Sedangkan, jizyah adalah harta yang diambil oleh pemerintahan Islam atas warga negara non muslim, baik ahli kitab maupun bukan, karena ketundukan mereka terhadap pemerintahan Islam. 

 

Begitulah gambaran kegemilangan peradaban Islam masa lalu. Jika kerusakan telah terjadi dimana-mana akibat ulah tangan manusia, apalagi kemaksiatan berupa dosa ribawi dianggap enteng, maka yang dikhawatirkan adalah kehidupan tidak lagi berkah dan mengundang murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika utang nonribawi yang dilakukan salah seorang sahabat Rasul saja, Rasulullah sudah enggan mensalatkan jenazahnya, bagaimana dengan utang yang jelas-jelas ribawi dan dilakukan oleh institusi negara? Oleh karena itu, sistem kufur hari ini wajib segera ditinggalkan dan hijrah kepada sistem Islam yang adil. Adapun kasus utang negara yang melambung tinggi dan dianggap enteng seperti hari ini, tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Wallahualam bissawab. [GSM]