Alt Title

Quo Vadis Umat 2024

Quo Vadis Umat 2024

No law without moral, no moral without religion

Jadi, sebenarnya kita kembali lagi ke persoalan agama. Itu menjadi penentu terjadinya peradaban. (Prof Suteki, Pakar Hukum dan Filsafat Pancasila)

________________________________________



KUNTUMCAHAYA.com, REPORTASE - Kondisi umat selama tahun 2023 diwarnai berbagai persitiwa yang memilukan. Kebijakan yang diambil oleh penguasa dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, sering kali membuat umat tidak baik-baik saja. Hal ini dirasakan oleh mayoritas rakyat di negeri ini. 


Akankah tahun 2024 dapat membawa kondisi umat menjadi lebih baik? Atau malah sebaliknya? Apa saja harapan umat yang harus diwujudkan tahun ini? Dapatkah pemilu memperbaiki keadaan rakyat? 


Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Filsafat Pancasila)  bersama pembicara hebat lainnya hadir dalam Live Diskusi Media Umat dengan tema "Quo Vadis Umat 2024". Acara tersebut ditayangkan di channel youtube Media Umat (07/01/2024).


Diskusi diawali dengan pertanyaan yang disampaikan oleh host kepada Prof. Suteki. Beliau bertanya mengenai kondisi ekonomi di tahun 2024, karena pada tahun 2023 ekonomi Indonesia dalam kondisi terpuruk. 


"No law without moral, no moral without religion. Jadi, sebenarnya kita kembali lagi ke persoalan agama. Itu menjadi penentu terjadinya peradaban," ungkap Prof. Suteki.


Beliau menjelaskan, menurut Talcot Parson ada empat subsistem dalam masyarakat. Yaitu subsistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Teori ini mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Jika diurutkan akan menjadi seperti ini, misalnya ekonomi. 


Di mana dia miskin nilai tapi kaya energi. Energi itu bisa terpinggirkan karena hukum. Kemudian ada politik. Kalau digambarkan ekonomi akan mengondisikan politik, lalu politik akan mengondisikan hukum, sehingga keadilan menjadi persoalan tertentu. Karena keadilan yang  notabene mestinya dilahirkan oleh hukum, ternyata hukum dikangkangi oleh politik. Kemudian politik dikondisikan oleh ekonomi.


"Pembangunan yang berorientasi pada ekonomi tidak akan menciptakan keadilan", terangnya. 


"Selama ini oligarki mengendalikan hukum kita. Yaitu penguasa yang juga sebagai pengusaha. Mereka berusaha melegitimasi hukum, sehingga hukum itu melayani mereka," tambahnya.


Beliau menerangkan yang terjadi sekarang bukan persoalan demokrasi lagi. Tetapi sudah sistem pemerintahan oklokrasi. Di mana suatu sistem pemerintahan dikendalikan oleh orang yang tidak berkompeten karena cenderung memanfaatkan hukum itu. 


Hal ini akan berbahaya jika dijadikan sebagai alat, misalnya digunakan untuk menyasar umat Islam dengan isu radikalisme dan ekstremisme. Ini dapat memberangus kebebasan dan menjadikan umat Islam terpenjara fisik maupun pemikirannya. 


Beliau mengungkapkan dari tiga calon presiden tidak ada yang mau menegakkan syariat Islam. Karena mereka takut kehilangan dukungan. Mereka mengaku muslim, tetapi meragukan ajaran Islam itu sendiri. 


"Ibaratnya kita keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Kalau rezimnya masih sama, maka keadilan dan kesejahteraan tidak akan terwujud," tegasnya. 


Beliau menambahkan, pemerintah membuat undang-undang sesuai dengan keinginan oligarki. Kebenaran dan keadilan bisa terwujud kalau rakyat bersatu, maka rezim akan gulung tikar. Jangan sampai rezim terus menerus berbuat zalim.


Untuk itu harus ada dasar dalam melakukan perjuangan ini. Agama adalah dasarnya. Karena dalam dasar negara kita pun sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. 


"Pada faktanya, orang yang berbicara tentang agama sering dituduh radikal, ekstremis, intoleran. Kalau sudah macam ini, jangan harap hukum kita menjadi lebih baik. Karena prinsipnya no law without moral, no moral without religion", pungkasnya. [SJ]