Alt Title

Mengelola Rasa Marah kepada Anak

Mengelola Rasa Marah kepada Anak

 


Karena kata-kata itu ibarat pahat, jika terhunjam pada kayu akan membekas dan membentuk ukiran

Begitupun pada anak, kata-kata yang kita lontarkan akan membentuk luka, dan luka menjadi persepsi

______________________________


Bersama Ustazah Dedeh Wahidah Achmad


KUNTUMCAHAYA.com, TSAQAFAH - Sebagai orang tua kadang kita merasa kesal atau marah kepada anak. Pemicunya, mungkin karena anak susah diatur, anak melakukan pelanggaran yang diulang-ulang, atau bisa juga karena mereka tidak melakukan apa yang kita perintahkan dan kita inginkan.


Melalui chanel youtube Muslimah Media Center (MMC), Ustazah Dedeh Wahidah Achmad akan mengupas tuntas kenapa semua itu terjadi. Serta menjelaskan bagaimana cara menyikapinya, saat kita merasa kesal kepada anak agar bisa terhindar dari hal-hal buruk yang semestinya tidak harus terjadi.


"Bahkan, untuk kehidupan saat ini pemicu rasa kesal kepada anak boleh jadi justru berasal dari orang tua itu sendiri. Misal, seorang ibu yang dibebani tugas finansial mencari nafkah, menjadi tulang punggung keluarga, atau terkadang malah menjadi kepala keluarga. Kehidupan yang berat, tekanan di dunia kerja, capek, lelah, baik secara fisik maupun emosional menjadi tekanan tersendiri bagi seorang ibu. Sehingga, ketika ia pulang ke rumah dan berhadapan dengan anak maka sekecil apa pun kesalahan anak akan menjadi pemicu yang luar biasa pada diri ibu. Ibu menjadi kesal, terpancing emosi, dan akhirnya berujung marah-marah", jelas Ustazah.


Seperti apa yang terjadi hari ini, bagaimana orang tua, ibu dengan ayah, suami dengan istri yang berkonflik. Istri yang merasa dikhianati oleh suami, merasa suaminya tidak bertanggung jawab, di PHK, malas untuk mencari kerja, sementara sang istri banting tulang mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Sehingga ketika istri tidak bisa menyampaikan kekesalan dan amarahnya kepada suami. Boleh jadi ini juga menjadi pemicu kesal kepada anaknya. Ketika anak melakukan kesalahan, ia akan melampiaskan kekesalannya itu, sehingga anak menjadi korban. Anak sebagai kambing hitam.


Kalau itu terjadi hanya sekali-kali, kemudian kita mampu untuk mengelolanya, mampu meredanya, sehingga rasa marah itu tidak berkelanjutan itu wajar, karena sebagai orang tua kita juga boleh marah. Kita juga manusia yang punya kelemahan.


Untuk itu, penting bagi kita untuk mencari solusi. Bagaimana kita mengetahui cara mengelola rasa kesal kepada anak, agar tidak berujung kepada sesuatu yang bisa berdampak buruk bagi anak dan diri kita sendiri. Misal, kita menjadi stres, depresi, atau melampiaskan kekesalan kepada anak, sehingga anak menjadi korban kekerasan orang tua.


Seperti yang baru-baru ini terjadi, yang ramai diberitakan di media sosial. Ada seorang ayah yang tega membunuh keempat anak kandungnya, hanya karena kesal dan marah kepada istrinya dan yang menjadi sasaran adalah anak-anaknya yang masih di bawah umur.


Penting bagi kita sebagai orang tua untuk bisa mengelola emosi atau kesal kepada anak dengan cara: 


Pertama, memahami apa penyebab rasa kesal itu. Ketika kita marah, kesal, kita harus memahami apa yang menjadi penyebabnya, pahami realitasnya. Memahaminya bukan dengan ikut terbawa emosi, tapi harus objektif dalam menilai kejadian tersebut.


Kenapa hal itu terjadi, kenapa anak membangkang, tidak nurut dengan apa yang kita perintahkan, dengan apa yang kita minta. Tidak boleh langsung menyimpulkan kalau anak kita tidak nurut, anak kita pembangkang.


Contoh, anak tidak mau tidur siang ketika kita suruh. Cukup menilai dengan anak tidak mau tidur, bukan karena anak membangkang. Mungkin karena sulit tidur, atau masih ingin bermain, atau karena ia lapar. Ketika kita menyimpulkan anak kita membangkang, hal itu akan berpengaruh pada emosi dan persepsi yang membuat kita menilai anak saya pembangkang. 


Atau, ketika anak kita suruh mandi. Tidak boleh main air, tapi ia tetap main air. Boleh jadi anak menemukan kesenangan lain. Sehingga kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa ia tidak mau mendengarkan, tidak mau nurut dengan apa yang kita katakan.


Kalau kita objektif dalam menilai sehingga apa yang kita lakukan bukan dengan marah, emosi yang meledak-ledak, tapi kita mengerti dengan kesenangan anak  yang lain. Maka kita akan mengganti dengan permainan, dengan makanan, yang mungkin itu juga akan menyenangkan baginya. Namun, ketika orang tua sudah mempunyai pandangan bahwa anak saya tidak mau mendengar, maka itu adalah cap negatif.


Kedua, menghadapi seperti apa realitas yang ada. Kadang ada dampak-dampak buruk pada pribadi kita, saat itulah kita harus menenangkan diri. Sebagai seorang muslim cara menenangkan diri yaitu dengan mengembalikan semua masalah hanya kepada Allah Swt..


Kita punya harapan anak kita nurut, melakukan sesuai dengan yang kita inginkan. Namun pada faktanya ada kehendak lain. Kita kembalikan kepada Allah Swt., bahwa kita punya keinginan tetapi Allah juga punya kehendak. Berzikir, minta pertolongan kepada-Nya agar hati kita tenang.


Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis di dalam Al-Qur'an, pada akhir ayat (QS. Ar- Ra'du: 28) Allah Swt. berfirman:


....."Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan selalu tenteram." 


Ketiga, ketika kita sedang marah, emosi meledak-ledak, maka tahan, jangan mengeluarkan kata-kata. Karena, saat emosi sedang menguasai kita, biasanya yang keluar adalah kata-kata yang tidak baik. Sumpah serapah, ejekan, kata-kata yang mungkin tidak layak diucapkan oleh seorang ibu, oleh seorang muslim. 


Ketika kita sedang kesal kepada anak jangan sampai sebagai orang tua mempunyai persepsi yang negatif. Saya orang tua yang gagal, saya tidak mampu lagi mendidik anak, saya tidak bisa menjadi orang tua yang baik. Kita ganti persepsi negatif itu dengan pemikiran yang positif.


Saya belum bisa menjadi orang tua yang baik tetapi ini adalah proses, ke depan saya akan berusaha menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Saya akan belajar lagi kenapa anak saya susah diatur, tidak segera melakukan apa yang kita inginkan, kenapa anak melakukan pelanggaran.


Tidak boleh langsung mencap bahwa itu sebuah kegagalan, bahwa itu sebuah keburukan, tetapi memahami bahwa semua itu adalah proses. Dan yang namanya proses itu perlu upaya. Maka wajar jika mengalami kesulitan. Jadi, jauhi pemikiran negatif ganti dengan pemikiran positif yang penuh harapan.


Keempat, saat kita memahami ada kesalahan pada diri anak, maka kewajiban seorang ibu tidak memendam, tapi berusaha memberikan pemahaman untuk memperbaikinya. Caranya, dengan mengajak anak untuk membicarakan fakta yang terjadi. Meski begitu tidak bisa disatukan antara fakta dengan pemberian pemahaman.


Sebagai orang tua kita perlu menenangkan diri agar tidak terpancing emosi, begitupun dengan anak, karena dalam keadaan kedua-duanya emosi maka kebaikan apa pun akan mental. Ketika kondisinya sudah baik, sudah kondusif, maka ajak anak untuk membicarakan fakta yang terjadi.


Kenapa ibu tadi kesal, kenapa marah, sampaikan kepada anak alasan kenapa kita bereaksi dengan sikap kesal dan marah. Sampaikan apa kesalahan-kesalahan anak, lalu beritahu anak sikap yang semestinya, seharusnya benar itu seperti apa.


Prinsipnya bukan menyalahkan anak tapi memberi tahu anak tentang kesalahan dan menyampaikan sikap yang benar, agar anak mampu menahan diri dan tidak mengulangi kesalahan tersebut.


Ketika orang tua marah kepada anak, boleh jadi ia juga akan terbawa emosi sehingga melakukan sesuatu yang tidak selayaknya, baik perkataan maupun perbuatan. Untuk itu, tidak ada salahnya orang tua, sang ibu, meminta maaf kepada anak. Tidak boleh ada persepsi pada diri kita bahwa orang tua itu selalu benar.


Sebagai manusia kita juga punya salah dan jangan sampai kesalahan-kesalahan itu tersimpan dan terakumulasi menjadi persepsi yang salah dalam diri anak. Orang tua saya, adalah orang tua yang ingin menang sendiri, orang tua saya egois, selalu menganggap pendapat dirinya yang benar dan selalu menyalahkan anak.


Orang tua juga harus berlapang dada, berani meminta maaf kepada anak, sampaikan juga alasan kenapa tadi kesal dan marah, agar kesalahan tadi tidak menjadikan luka pada diri anak. 


Meski demikian, ada dua hal yang tidak boleh terjadi dan harus kita hindari. Sekesal apa pun kita, walaupun dalam keadaan marah yang luar biasa, tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang merangsang emosi. Misal, dengan hinaan, umpatan, emang kamu anak bodoh, pembangkang, dan lain-lain.


Karena kata-kata itu ibarat pahat, jika terhunjam pada kayu akan membekas dan membentuk ukiran. Begitupun pada anak, kata-kata yang kita lontarkan akan membentuk luka, dan luka menjadi persepsi.


Yang boleh jadi setelah dewasa nanti dia akan menjadi orang yang minder, atau bahkan sebaliknya, menjadi orang yang arogan, sombong, karena di keluarganya ia tidak punya eksistensi.


Sehingga eksistensinya itu akan ia nampakkan pada sekelilingnya, pada temannya, pada lingkungannya, ketika ia berhadapan dengan orang-orang yang lemah. Arogansinya itu akan ia nampakkan, seperti saat ini kenapa terjadi bully, kekerasan, salah satu pemicunya adalah anak-anak yang tidak mempunyai harga diri dalam keluarga.


Selanjutnya, hindari kekerasan secara fisik. Orang tua tidak boleh memukul dan mencederai anak. Sebuah hadis yang menjelaskan kebolehan memukul pada anak hanya ketika anak tidak mau salat. Itu pun jika usianya sudah 10 tahun, dengan pukulan untuk mendidik, bukan untuk penyiksaan.


Sementara saat ini masih banyak orang tua yang tidak terkendali emosinya, tidak terkontrol marahnya sehingga melampiaskannya kepada anak, dan anak menjadi korban kekerasan.


Namun, ketika kita menyadari kekerasan kepada anak, maka tak cukup hanya peduli kepada anak kita, keluarga kita, tetapi kita juga harus peduli dengan masyarakat. Karena banyaknya pemicu kekerasan pada anak itu disebabkan adanya tekanan pada sistem, baik sistem ekonomi, sosial, pekerjaan, dan lain-lain.


Karena itu, saat kita peduli dengan nasib anak, dengan nasib orang tua, satu-satunya cara hanya dengan menghilangkan akar masalahnya, yaitu sistem yang zalim tersebut. Sistem yang tidak peduli dengan nasib anak diganti dengan sistem yang menyejahterakan anak sekaligus menyejahterakan orang tua.


Sistem itu bisa terwujud hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah oleh negara. Itulah sistem Khilafah Islamiyyah. (MKC/Tinah Ma'e Miftah)