Alt Title

Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai?

Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai?

Dengan demikian tidak benar jika khilafah harus diwaspadai. Terlebih para ulama menyatakan khilafah adalah mahkota kewajiban, induk dari penerapan hukum Islam secara totalitas

Tanpa keberadaan khilafah, hukum-hukum Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh

___________________________________


Penulis Ummi Nissa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sungguh disayangkan, di saat ghirah (semangat) kebangkitan Islam semakin meningkat, tetapi masih ada sebagian umat Islam yang menganggap syariat Islam dalam bingkai khilafah sebagai ancaman. Terlebih 2024 adalah momen 100 tahun runtuhnya Khilafah Islamiyah di Turki. Momen ini dinilai akan membangkitkan kembali narasi ideologi trans-nasional. Masyarakat pun dihimbau agar berhati-hati dan dapat berpikir kritis.  


Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengingatkan  pemerintah dan masyarakat agar mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah. Menurutnya, gagasan khilafah yang ditawarkan menjadi semacam obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya. Ia pun berasumsi bahwa narasi-narasi tersebut berpotensi untuk mendapatkan momentum pada 2024, yang bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. (beritasatu[dot]com, 12 Januari 2024) 


Kerusakan Masyarakat Akibat Kapitalisme


Mencermati ungkapan tersebut, ada hal yang sejatinya perlu diluruskan. Benarkah narasi kebangkitan khilafah perlu diwaspadai? Sementara sistem kehidupan demokrasi kapitalisme yang diterapkan hari ini tidak dianggap ancaman. Padahal realitas telah membuktikan bahwa keterpurukan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan muncul akibat sistem yang diterapkan saat ini yakni kapitalis sekuler demokrasi


Lihatlah dalam aspek ekonomi, kebebasan berekonomi telah menciptakan kesenjangan sosial yang demikian lebar. Sumber daya alam yang melimpah semestinya mampu menyejahterakan rakyat, tetapi nyatanya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal alias para kapitalis.  


Demikian pula masalah-masalah lainnya, seperti penerapan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, hingga menciptakan ketidakadilan. Korupsi juga merebak  di berbagai struktur dan lembaga pemerintahan, mulai dari pusat sampai daerah. Selain itu, budaya liberalisme (kebebasan) telah merusak akhlak generasi hinga terperosok pada kecanduan nakoba, pergaulan bebas,  dan sebagainya. 


Semua kerusakan tersebut disadari atau tidak terjadi sebagai  buah dari penerapan sistem kapitalisme. Asas dalam sistem ini telah memisahkan pengaturan agama dari kehidupan umum. Pada hakikatnya pandangan ini lahir dari cara pandang Barat yang sekuler. Sehingga hal ini melahirkan ide kebebasan (liberalisme) dalam segala aspek kehidupan. Bukankah pemikiran ini juga trans-nasional?  Mengapa justru khilafah dimonsterisasi sebagai ide yang berbahaya?


Jawabannya, karena saat ini yang memiliki kekuatan global adalah ideologi kapitalisme yang diusung negara-negara Barat. Sementara yang paling  ditakuti Barat tentu munculnya kembali kebangkitan Islam yang akan menggeser kekuatannya. Sehingga wajar jika pengusung kapitalisme merangkul kaum muslimin yang berpihak padanya untuk memonterisasi khilafah dan menganggapnya sekadar narasi. Hal ini demi membendung kebangkitan umat Islam.


Khilafah Bagian dari Ajaran Islam


Kaum muslimin sejatinya perlu memahami bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Oleh sebab itu, sudah selayaknya materi dan hukum-hukum fikih terkait khilafah tersampaikan di tengah umat. Agar tidak mesti ada pihak yang masih menganggap khilafah sebagai narasi atau gagasan usang yang teoritis. Sebab ajaran Islam adalah aturan yang Allah tetapkan dalam syariat-Nya. 


Khilafah juga bukan ideologi, melainkan sistem pemerintahan Islam yang diatur berdasarkan syariat Islam. Sejarah telah mencatat kegemilangan penerapan sistem pemerintahan Islam ini selama 13 abad. Hal ini sebagai bukti bahwa syariat Islam merupakan aturan hidup yang layak untuk diterapkan bukan hanya teoretis semata. Bahkan jangkauan dan keluasan syariat Islam mampu menyelesaikan berbagai permasalahan manusia, baik ekonomi, sosial, hukum, politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya. 


Berdasarkan istilah syar’i, kata “khilafah” merupakan persamaan kata imâmah dan imârah al-mu’minîn. Menurut Syekh al-‘Allamah Muhammad Najib al-Muthi’i (w. 1406 H) “Al-imâmah, al-khilâfah, dan imâratul-mu’minîn adalah sinonim.” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, 19/191)


Para ulama telah menyampaikan dalam sejumlah penjelasan yang berbeda tentang makna “khilafah”, tetapi semuanya mengarah pada satu makna yang sama. Makna yang dimaksud adalah “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat komprehensif dan umum, terkait dengan masyarakat umum dan khusus, dalam perkara agama dan dunia.” (Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî Iltiyâts al-Zhulam)

 

Dengan demikian tidak benar jika khilafah harus diwaspadai. Terlebih para ulama menyatakan khilafah adalah mahkota kewajiban, induk dari penerapan hukum Islam secara totalitas. Tanpa keberadaan khilafah, hukum-hukum Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga tidak perlu masyarakat menghalang-halangi para pengemban dakwah yang berusaha memahamkan ajaran Islam kaffah ke tengah-tengah umat Islam. Sebaliknya, justru semua elemen umat wajib turut bersama-sama menyuarakan dan memperjuangkannya. Dengan demikian institusi yang diwariskan oleh Rasulullah saw. segera tegak kembali hingga semua permasalahan kehidupan dapat diselesaikan secara tuntas. Wallahualam bissawab. [By]