Pemilu Makin Dekat, Bagaimana Cara untuk Hadapi Potensi Kecurangan?
Analisis
Islam pun menciptakan pemilihan umum yang amat sangat sederhana, tanpa mengeluarkan biaya ataupun tenaga
Para pemilihnya pun bukan dari kalangan biasa-biasa, melainkan para da'i dan ulama
______________________________
Penulis Tri Silvia
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Tahun politik akan segera mencapai puncaknya. Tahapan demi tahapan pemilu sudah mulai terlewati, termasuk lobi-lobi hingga berbagai intrik dan manuver politik. Tiga pasang calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) pun lantas mengemuka di pentas perpolitikan Indonesia. Ketiganya telah resmi akan bertarung dalam pemilihan umum di tahun 2024 mendatang.
Ketiganya telah menjalankan berbagai tahapan pemilu yang ada, termasuk pengundian nomor urut pasangan. Telah diketahui bahwa ketiganya telah mendapatkan nomor urut pemilu usai proses pengundian yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa (14/11/2024). Adapun hasilnya, pasangan calon Anies-Muhaimin (Cak Imin) mendapat nomor urut 1, Prabowo-Gibran 2, dan Ganjar-Mahfud 3.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa ketiga paslon (pasangan calon) telah berhasil menjalankan berbagai tahapan pemilu hingga saat ini. Namun tidak berarti bahwa mereka melaju tanpa kontroversi. Ada banyak sekali kontroversi yang terjadi, termasuk lobi-lobi politik yang berjalan tidak sesuai dengan realita.
Pada tahapan ini bahkan sempat terjadi kehebohan publik saat Anies Baswedan justru lebih memilih Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai wakilnya, dibandingkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kehebohan publik ini terjadi sebab pihak AHY merasa bahwa selama lobi-lobi politik itu terjadi, Anies memiliki kecenderungan untuk memilihnya sebagai wakil.
Belum lagi kegaduhan yang melibatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di bawah Ibu Megawati Soekarno Putri dengan Presiden Joko Widodo. Di mana bapak Presiden justru mengusung calon lain di luar dari pencalonan yang dilakukan oleh partai tersebut.
Padahal partai tersebut merupakan rumah yang bersangkutan sebelumnya. Tak hanya itu, Presiden pun disebut-sebut akan mengerahkan segenap relawan dan para pendukungnya terdahulu untuk mengusung Prabowo-Gibran.
Lalu dilanjutkan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berpotensi menganulir persyaratan untuk menjadi Capres dan Cawapres di Pemilu 2024 ini.
Putusan tersebut berbunyi bahwa Capres-Cawapres harus berusia minimal 40 tahun untuk bisa maju mencalonkan diri, atau pernah/ sedang menjabat sebagai kepala daerah. Dengan adanya putusan ini, maka seorang Gibran Rakabuming Raka yang notabene merupakan anak dari Presiden hari ini bisa maju mencalonkan diri sebagai Cawapres Prabowo pada usia yang belum genap 40 tahun, tepatnya 36 tahun.
Adapun keputusan MK ini dikeluarkan berdasarkan gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Gugatan yang bersangkutan terkait dengan aturan batas capres-cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Nomor Tahun 2017. Yang bersangkutan memilih Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum. (CNBC Indonesia, 21/10/2023)
Identifikasi Kecurangan Pemilu 2024
Tahapan demi tahapan pemilu 2024 telah dilalui oleh tiga pasangan calon. Namun berbagai dugaan kecurangan sudah bermunculan. Ia bahkan dimunculkan pertama kali oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sekaligus merupakan mantan Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarno Putri.
Yang bersangkutan mewanti-wanti kepada pemerintah dan aparat yang ada agar tidak lagi terjadi kecurangan pemilu seperti yang sebelumnya. "Rakyat jangan lagi diintimidasi seperti dulu. Jangan biarkan kecurangan pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai akan terjadi lagi."
Bukan hal yang tabu jika muncul dugaan kecurangan pemilu di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, masyarakat sering kali mendapati kecurangan yang terjadi saat, atau sebelum pemilu dilaksanakan. Entah dalam bentuk kampanye hitam, serangan fajar, ataupun baliho-baliho dan spanduk yang dipasang sebelum waktunya.
Apalagi jika kita berbicara pemilu di 4 tahun ke belakang, kala itu banyak sekali kasus misterius yang diindikasi merupakan buatan manusia. Kasus yang diciptakan guna memuluskan orang-orang tertentu dalam meraup kuasa. Di mana kasus-kasus tersebut bahkan tetap menjadi misteri hingga detik ini.
Berbagai dugaan di atas menjadi bertambah-tambah, ketika diketahui bahwa salah satu calon wakil presiden yang diusung adalah anak dari presiden saat ini. Di mana yang bersangkutan bisa mengerahkan berbagai trik, upaya serta kekuatan yang ada di tangannya, dalam memuluskan jalan putranya menuju kekuasaan.
Apalagi saat publik memahami cara sang anak masuk dalam kontestasi saat ini. Modifikasi beberapa aturan yang ada melalui lembaga yang diketuai oleh paman sendiri. Rasanya sudah cukup alasan publik untuk menduga-duga bahwa ada kecurangan dalam pemilu saat ini.
Lalu yang terbaru adalah tentang perubahan format debat Capres-Cawapres yang dianggap menguntungkan paslon tersebut. Masyarakat ramai-ramai mengomentari perubahan yang ditetapkan mengingat Cawapres tersebut belum memiliki pengalaman hidup dan pengetahuan yang cukup terkait dengan perpolitikan. Sehingga perubahan teknis dalam debat itu lagi-lagi dianggap sebagai alat untuk memuluskan jalan anaknya untuk memenangkan kontestasi.
Hal-hal di atas berada di luar kondisi teknis. Adapun secara teknis di lapangan, Mahfud MD menyatakan telah mendapat laporan kecurangan di Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.
Di mana ada penyalahgunaan kuasa dan aparatur pemerintah di dalamnya. Yakni adanya pemasangan dan penurunan baliho dari partai tertentu yang diduga dilakukan oleh oknum aparat, dalam hal ini Satpol PP.
Saat hal ini dimunculkan ke ruang publik, tak lama kemudian beredarlah pakta integritas atas nama Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso. Yang menyatakan bahwa ia siap menggalang dukungan dan memberi kontribusi suara pada Pilpres 2024, minimal 60% + 1 untuk pemenangan Ganjar Pranowo, di Kabupaten Sorong.
Koalisi; Solusi Hadapi Kecurangan Pemilu Atau?
Berbicara tentang kecurangan pemilu hari ini, kita akan sulit untuk berhenti. Pasalnya, berbagai potensi kecurangan ini bukan hanya dilakukan oleh pasangan calon yang cenderung dekat dengan penguasa, tetapi juga semua pasangan calon memiliki peluang yang sama, walau dengan porsi yang berbeda. Lantas bagaimana cara agar berbagai kecurangan ini tidak berdampak pada hasil pemilu 2024 nanti?
Ada beberapa solusi yang disoroti, tetapi salah satu yang cukup kentara adalah solusi koalisi. Bukan untuk saling mendukung dalam menjalankan pemerintah usai terbentuknya pemerintahan baru, melainkan koalisi saling dukung untuk menghempaskan berbagai kecurangan tadi agar tidak memengaruhi hasil.
Dalam solusi ini, kedua pasangan calon dan para pendukungnya diminta untuk saling menurunkan ego, menjaga dan memperhatikan setiap kecurangan yang muncul untuk kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Begitu seterusnya hingga pemilu selesai dan hasilnya diumumkan ke publik.
Apakah solusi ini bisa berhasil menangkal kecurangan dan munculnya perpecahan? Bisa saja ini berhasil, tetapi bagaimana wajah demokrasi setelah ini dan seterusnya?
Demokrasi Biang Kehancuran dan Kemunafikan
Kecurangan merupakan hal yang lumrah ada dalam iklim demokrasi. Pasalnya orientasi materi dan keuntungan, serta biaya pencalonan hingga kampanye yang mahal membuat mereka melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi. Alhasil aturan halal dan haram pun terkadang mereka langgar, apalagi hal-hal yang menyangkut dengan aturan pemilu.
Demokrasi biang kehancuran adalah nyata adanya. Karena hanya kehancuranlah akhir pasti untuk sistem ataupun perilaku curang yang senantiasa melanggar aturan-aturan. Apalagi aturan Tuhan. Mereka menganggap ringan segala aturan dan langgar segala batasan yang dimiliki.
Memang benar, dengan kekuasaan dalam genggaman, mereka bisa melakukan apa pun yang diinginkan. Sebab kuasa membuat mereka bisa mengubah aturan yang ada. Tapi mereka lupa, bahwa di balik segala sesuatunya senantiasa ada Allah yang Maha Mengawasi. Dan mereka pun lupa bahwa segala yang terjadi di bumi, ada dengan izin dari Allah, Tuhan Semesta Alam.
Adapun solusi yang mengatakan bahwa koalisi bisa mencegah kecurangan, itu hanya bersifat parsial dan sesaat. Mungkin ia akan berhasil pada saat itu, namun sisanya hanya akan menambah buruk wajah demokrasi itu sendiri. Bayangkan saja mereka harus menjadikan lawan sebagai kawan, untuk kemudian menjadikannya sebagai lawan lagi saat telah sampai ke tujuan.
Munafik mungkin bisa menjadi istilah yang tepat bagi mereka yang tercebur dalam sistem demokrasi. Dan hal ini memang terjadi, bukan kali ini saja. Lihatlah bagaimana seorang Prabowo yang di pemilu sebelumnya menjadi lawan penguasa hari ini, lantas memenangkan hati untuk kemudian diangkat menjadi menteri.
Dan kini, ia justru ditunjuk untuk menemani putra kebanggaan sang lawan di zaman itu untuk lolos sebagai pengganti. Aneh tapi nyata, semua itu terjadi hari ini, di bawah sistem yang bernama demokrasi.
Akar Masalah Perlu Dibuang, Ganti dengan Islam Sebagai Pemenang
Dari segala pemaparan di atas, maka jelaslah untuk kita bahwa yang menjadi akar masalah bukanlah tentang seorang Presiden yang menunjuk anaknya untuk masuk sebagai salah satu kontestan dalam pemilihan umum.
Namun sistem yang digunakan dan menaungi segala hal yang mencakup tahapan dan aturan terkait pemilu-lah akar masalahnya, yakni sistem demokrasi. Dengan demikian, membuat sebuah koalisi baru bukanlah jawaban. Justru ia hanya akan menjerumuskan kita pada sengketa dan permasalahan baru.
Solusi utama dan pertamanya adalah membuang sistem yang hanya membuat kacau dan ricuh masyarakat. Dan menggantinya dengan sistem yang aman dan hanya menciptakan kedamaian di muka bumi, yakni Islam. Sifatnya sebagai rahmatan lil alamin hanya akan membawa kedamaian, bukan kericuhan apalagi kekacauan.
Kecurangan dan kemunafikan akan jauh dari kata nyata dalam perpolitikan sistem tersebut. Islam akan menjadikan syariatnya sebagai dasar aturan dan pemikiran. Sehingga jikalau pun ada perbedaan, maka akan dikembalikan pada asas dan dasar pertama.
Yakni Islam, bukan yang lain. Sistem ini pun merupakan sistem yang berasal dari Rabb semesta alam, sehingga semua aturannya pun takkan mungkin dilanggar, sebab ada konsekuensi berat atas keimanan dan sanksi yang telah ditetapkan.
Islam pun menciptakan pemilihan umum yang amat sangat sederhana, tanpa mengeluarkan biaya ataupun tenaga. Para pemilihnya pun bukan dari kalangan biasa-biasa, melainkan para da'i dan ulama.
Yang kemudian akan diteruskan kepada masyarakat luas secara keseluruhan dalam bentuk bai'at kepada penguasa. Alhasil, dengan aturan semacam ini, orientasi materi pun akan tergerus tanpa sisa. Yang ada justru orientasi akhirat semata.
Pemilu semacam ini akan menghasilkan pemimpin idaman. Memosisikan diri sebagai pelayan umat, ia akan bekerja tanpa tapi tanpa nanti. Kesejahteraan jadi hal utama baginya, tetapi penyebaran dakwah Islam akan selalu jadi sentral perhatian.
Demikianlah Islam, keberadaannya akan selalu jadi pusat kedamaian. Apalagi jika ia tak dijadikan sekadar ritual agama semata, melainkan diterapkan dalam kehidupan nyata. Wallahualam bissawab. [SJ]