Alt Title

Liberalisasi Sumber Mata Air, Menyulitkan Masyarakat Mendapatkan Air Bersih

Liberalisasi Sumber Mata Air, Menyulitkan Masyarakat Mendapatkan Air Bersih

Problem pengelolaan lingkungan termasuk pemanfaatan air tanah harus dipandang secara menyeluruh

Penyelesaian yang mendasar harus lebih dari itu, bukan sekadar solusi praktis

__________________________________________


Penulis Siti Mukaromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Air merupakan kebutuhan umum. Manusia hidup tidak lepas dari air untuk kebutuhan hidupnya. Mirisnya, kekeringan yang terjadi di berbagai daerah pun mengakibatkan warga kesulitan mendapatkan air bersih. Warga yang terbiasa menggunakan air dari tanah, tentu akan merasakan persoalan dan beban baru ketika solusi yang diberikan pemerintah untuk beralih ke PDAM, di tengah sulitnya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang serba mahal. Karena masyarakat harus membeli dengan harga yang cukup menguras kantong dan kualitas layanannya pun sering dipertanyakan.


Dikutip dari bbc[dot]news[dot]indonesia[dot]com (31/10/2023), penggunaan air tanah harus meminta izin ke Kementerian ESDM, bagaimana aturan dan sanksinya. Aturan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) yang mewajibkan warga meminta izin jika ingin menggunakan air tanah, menjadi sorotan ketika kekeringan melanda sejumlah daerah di Indonesia. 


Nirwono Joga, Pengamat Planologi dari Universitas Trisakti mempertanyakan bagaimana Kementerian ESDM melakukan pengawasan penggunaan air tanah. Jika ingin solusi masyarakat untuk beralih dari air tanah ke PAM, apakah pemerintah dapat menjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air PAM? Tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah, keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G 2023 diteken pada 14 September lalu. Aturan ini berlaku untuk individu, masyarakat, kelompok, badan hukum atau lembaga sosial yang menggunakan air tanah dan sungai minimal 100.000 liter per bulan. Secara rinci aturan ini berlaku, jika air tanah untuk kebutuhan pokok sehari-hari serta pertanian di luar sistem irigasi yang sudah ada.


Menyoroti keputusan Menteri ESDM ini, publik menilai pemerintah masih memakai cara pandang parsial. Cara pandang dalam persoalan ini menunjukkan parsialnya "penerbitan beleid ini". Penggunaan air tanah dalam jumlah besar lebih dari 100 meter kubik akan membatasi eksploitasi air tanah yang diakui menjadi penyebab permukaan tanah menurun.  Khususnya seperti Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. 


Selain eksploitasi air tanah yang masif, pemicu faktor penurunan muka tanah dan beban permukaan tanah juga penyebab akibat adanya bangunan yang melampaui daya dukung tanah. Pembangunan berbagai infrastruktur hingga hari ini, masih berlangsung masif. Walaupun daya dukung lingkungannya sudah maksimum, ironisnya berbagai bangunan ini tidaklah untuk ditujukan melayani kebutuhan rakyat. Namun, lebih memenuhi ambisi dan kerakusan para pemilik modal kapitalis. 


Hal ini berdampak pada penggunaan air tanah, di kota-kota besar mayoritas adalah gedung-gedung bertingkat, apartemen, hotel, wahana hiburan dan sebagainya. Notabene keuntungan bagi para kapitalis.


Di sisi lain tingginya penggunaan air tanah oleh masyarakat juga diakibatkan mahalnya air bersih perpipaan yang disediakan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMD. Sementara itu, sungai, sumber mata air atau lainnya sebagai kualitas air baku, makin menurun dan tidak layak dimanfaatkan.


Oleh karenanya, solusi yang diberikan pemerintah adalah masyarakat untuk beralih ke PDAM, tentu akan menimbulkan persoalan dan beban baru. Masyarakat harus membeli dengan harga yang cukup mahal, kualitas dan layanannya pun sering dipertanyakan. Misalnya air yang tidak lancar dan keruh tidak bisa dikonsumsi air minum, yang sering terjadi ditengah masyarakat dan terpaksa membeli lagi air isi ulang. 


Problem pengelolaan lingkungan termasuk pemanfaatan air tanah harus dipandang secara menyeluruh. Penyelesaian yang mendasar harus lebih dari itu, bukan sekadar solusi praktis. Apabila problem ini ditelusuri, paradigma tata kelola SDA dan konsep pembangunan tidak terlepas dari konsep pembangunan yang sekuler kapitalistik. Paradigma inilah yang akan melahirkan kerakusan manusia, sehingga mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara berlebihan, mengabaikan dampak lingkungan.


Atas nama kebebasan ekonomi, paradigma kapitalistik ini mewujudkan konsep politik dan ekonomi yang melandasi tata kelola lingkungan dan SDA. Secara politik minimnya peran negara, tidak lebih hanya sekadar untuk memfasilitasi individual kapitalis dalam melakukan pembangunan yang masif, dan mengabaikan karakter lingkungan.


Selain itu, negara mengizinkan privatisasi dan liberalisasi aset-aset milik publik. Kehadiran negara justru dengan membuat aturan dan regulasi, lebih berpihak pada kapitalis. Berbagai kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pun bahkan karena lemahnya sanksi yang diberikan.


Mudahnya perubahan rancangan tata kota yang mengikuti kepentingan kapitalis, bukti pengabaian negara yang bisa dilihat, bukan untuk kemaslahatan dengan memperhatikan kepentingan publik dan kondisi lingkungan. Misalnya, pemberian izin bangunan  sekalipun di daerah resapan air, pembiaran bangunan yang melampaui daya dukung lingkungan dan sebagainya.


Terkait tata kelola air ini, sangat masif terjadinya liberalisasi sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan air bersih. Sikap pemerintah sangat disayangkan, tidak hanya lemah melainkan juga kehadirannya di tengah rakyatnya dengan membisniskan layanan yang diberikan melalui unit-unit teknis milik negara, seperi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Badan-badan yang sejatinya menyediakan pelayanan, malah ikut mengambil keuntungan dari layanan tersebut. Parahnya, komersialisasi layanan itu terjadi pada air bersih milik publik itu sendiri.


Kehadiran negara di tengah liberalisasi ekonomi yang dikuasai korporasi, justru menjadi regulator dan fasilitator yang menjadi akar persoalan sebenarnya. Berdampak  pada banyak hal termasuk rusak dan hilangnya sumber air tanah. Selama konsep kapitalis sekuler ini berjalan, aturan teknis sebanyak apapun yang dibuat, maka tidak akan mampu menjadi solusi.


Oleh karena itu, butuh solusi yang komprehensif dalam sistem IsIam. Jika aturan-aturan Islam dilaksanakan secara kafah (menyeluruh) pasti akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bahkan kebaikan dan keberkahan pula kepada alam.


Konsep politik ekonomi IsIam yang khas, negara dan pemerintah wajib berkhidmat kepada aturan Allah Swt.. Kehadiran negara adalah wajib mengurusi kebutuhan rakyatnya. Hal ini, pemerintah bertanggung jawab meniscayakan semua kebutuhan rakyatnya, termasuk ruang hidupnya. Negara akan menggunakan fungsi politiknya yang sahih. Maka negara dengan sistem IsIam memetakan pembangunan di seluruh wilayahnya dengan memperhatikan tingkat manfaat bagi rakyatnya, karakter lingkungan, dan pengelolaan sumber dayanya wajib memenuhi prinsip dan sejalan dengan hadis Rasulullah saw..


Dalam hadis riwayat Ibnu Majah Rasulullah saw. bersabda, "Orang-orang muslim bersekutu dalam kepemilikan tiga hal yaitu, air, padang rumput, dan api. Harga dari benda tersebut diharamkan". Dari hadis tersebut jelas air adalah kepemilikan umum, memperjualbelikan termasuk diharamkan oleh Rasulullah saw..


Pembangunan fasilitas publik, seperti jalan, rumah sakit, bangunan sekolah, dan lainnya harus dilakukan oleh negara. Kemudian di bangun sesuai dengan kebutuhan umat dan tidak merugikan lingkungan. Tidak boleh diserahkan secara bebas kepada korporasi. 


Pengelolaan air bersih berada dalam tanggungjawab negara, apalagi di daerah yang kualitas dan kuantitas air bersihnya minim. Negara tidak boleh memperjualbelikan, diprivatisasi atau dimiliki secara individu. Penggunaan maupun pemanfaatannya pun untuk umum. Wallahualam bissawab. [GSM]