Alt Title

Potret Kelam Pendidikan Sekuler yang Cacat

Potret Kelam Pendidikan Sekuler yang Cacat

Memang, generasi saat ini cerdas secara akademik bahkan berprestasi. Namun, tanpa ada nuansa iman yang harusnya berjalan beriringan dengan intelektualitas, mereka hanya akan menjadi generasi yang mengerikan

Kondisi ini diperparah dengan abainya negara pada problem kompleks pendidikan

_____________________________


Penulis Etik Rosita Sari

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya, Mahasiswa Pascasarjana



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Generasi Kian Tersesat. Pendidikan pada hakikatnya berperan penting dalam mencetak blueprint generasi yang dapat berkiprah membangun peradaban. Namun sayangnya, visi pendidikan tersebut agaknya tak tercermin dalam sistem pendidikan saat ini. Banyak realita miris terjadi di depan mata, menyuguhkan potret betapa generasi intelektual sekarang sangat jauh dari harapan. Sebut saja kasus pembunuhan mahasiswa yang baru-baru ini terjadi. 


Dilansir dari tirto[dot]id (5/8/23), seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang berinisial MNZ (19 tahun) tewas dibunuh senior satu jurusannya, AAB (23 tahun). Jenazah korban ditemukan di kamar kosnya dalam kondisi mengenaskan terbungkus plastik hitam dengan kondisi kaki terikat lakban dan terdapat beberapa luka di tubuh. Dari hasil interogasi polisi, pelaku mengaku tega membunuh juniornya tersebut akibat terjerat pinjaman online hingga mencapai 80 juta rupiah. Didera rasa putus asa, pelaku akhirnya nekat melancarkan aksinya dengan niat menguasai harta korban agar bisa dijual dan melunasi utang-utangnya. Ironis, karena terjerat utang, tega-teganya membuat nyawa seseorang melayang.


Problematik pendidikan nyatanya tak berhenti sampai di situ. Perundungan tak pelak juga menjadi trend yang mendominasi permasalahan generasi intelektual saat ini. Baru-baru ini kasus penusukan yang dilakukan oleh siswa korban bully kepada teman yang kerap mem-bully-nya di Samarinda menambah deret panjang kasus bullying di Indonesia. Mirisnya, tak hanya menimpa sesama pelajar, pendidik pun tak luput dari upaya perundungan. Seperti halnya peristiwa yang terjadi di Rejang Lebong, Bengkulu, di mana seorang guru olahraga yang menegur siswa karena kedapatan merokok harus mengalami kebutaan permanen akibat terkena ketapel orangtua siswa yang tidak terima anaknya ditegur. Nauzubillahimindzalik!


Selain kasus tersebut, masih ada sederet kasus lain yang tak kalah tragis. Mulai dari pembakaran gedung sebuah SMP di Kabupaten Temanggung oleh salah seorang peserta didik akibat kesal sering dibully oleh teman dan gurunya, penganiayaan pelajar oleh seorang anak pejabat DPRD Kota Ambon hingga tewas dan masih banyak lagi. 


Dilansir dari data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tercatat selama Januari-Juli 2023 telah terjadi 16 kasus perundungan di satuan pendidikan. Dari ke-16 kasus itu, menurut Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mayoritas terjadi pada tingkat sekolah dasar sebesar 25%, sekolah menengah pertama sebesar 25%, sekolah menengah atas sebesar 18,75%, dan sekolah menengah kejuruan sebesar 18,75%. Empat diantaranya bahkan terjadi saat tahun ajaran sekolah 2023/2024 yang baru saja dimulai pada Juli 2023.


Data kuantitaf tersebut baru mencerminkan beberapa kasus saja yang terungkap ke publik. Layaknya fenomena gunung es, jika digali kembali, mungkin masih banyak kasus lain yang luput ditindak karena tak tersorot media. Walhasil, tak heran di tahun 2019, hasil suvei PISA 2019 yang dilakukan oleh OECD sukses menempatkan Indonesia sebagai peringkat juara dalam kasus perundungan. Survei tersebut bahkan menyebut sebanyak 41% anak di Indonesia menjadi korban bullying lebih dari sekali dalam sebulan.


Bukan hanya darurat bullying, pemuda saat ini pun tak luput dari bentuk kenakalan-kenakalan lain. Sudah tak terhitung headline berita mainstream yang mengungkap bagaimana pelajar, bahkan di bawah umur, terlibat kasus kekerasan dan tindak pidana, baik di dalam maupun luar sekolah seperti tawuran, menjadi begal motor (pelaku klitih), narkoba, seks bebas, hingga prostitusi. Hal ini tak ayal membuat salah satu politisi PKS sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih geram. Ia mengkritik kinerja pemerintah dalam menggarap program Nawacita berbasis pendidikan karakter yang tertuang dalam Perpres dan Permendikbud RI.


“Buktinya perundungan di kalangan pelajar malah semakin marak terdengar dan pelakunya merata dari beragam strata sosial, di mana keseriusan pejabat terkait?” ujar Fikri dikutip dari harian Republika (5/8/23).


Fikri juga mempertanyakan terkait “Profil Pemuda Pancasila”, sebuah program yang digagas oleh Kemendikbud di tahun 2020, yang akan menjadi program andalan dalam upaya meraih Nawacita pendidikan. Menurut Fikri, program megah yang menelan anggaran tak murah ini ternyata tidak memberi dampak berarti bagi para pelajar. Kualitas pelajar saat ini tetap saja tak sesuai harapan. Lebih senang mempertontonkan urat ketimbang otak dan prestasi tandasnya. 


Krisis akhlak para intelektual ini sebenarnya bukan baru muncul beberapa tahun belakangan. Faktanya, tahun demi tahun, kelakuan tak pantas pemuda yang menjadi harapan bangsa ini tak pernah absen terjadi. Bagai mata rantai yang tak bisa putus, ada saja tindak kejahatan yang dilakukan. Bahkan semakin lama, levelnya semakin tak berperikemanusiaan. Pelakunya bukan hanya orang dewasa dan remaja. Bocah di bawah umur, yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikir, nyatanya bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang sungguh tega. Benar-benar di luar nalar.


Berbagai cara sebenarnya telah ditempuh untuk mengatasi problematika ini. Entah telah berapa kali kurikulum diganti, namun langkah pemerintah tersebut nyatanya tidak memberi dampak sama sekali. Revolusi mental dan pendidikan karakter yang jadi senjata andalan nyatanya masih saja gagal mewujudkan nawacita pendidikan negeri. Intelektual mulia yang dinanti juga tak lekas terjadi. Justru, degradasi moral dan krisis adab yang semakin menjangkiti generasi.  


Inilah musibah yang harus ditanggung generasi dalam kubangan sistem pendidikan sekuler. Sistem yang meniscayakan terpinggirkannya Islam sebagai pengatur kehidupan, termasuk dalam lingkup pendidikan, membuat jiwa para intelektual ini kosong dari nilai keimanan. Bagaimana tidak? Dalam sistem pembelajaran, agama hanya dijadikan sekedar ilmu pengetahuan dan teori, layaknya mata pelajaran lain. Lebih parahnya, porsi durasi yang diberikan sangat minim. Padahal, agama mempunyai peran penting dalam membentuk kontrol individu terhadap kejahatan dan kemaksiatan.   


Maka, wajar jika yang terpampang di depan kita saat ini adalah generasi-generasi rusak yang tersesat. Generasi yang habis digulung pemikiran Barat -hedonisme, materialisme, individualisme- hingga membuat mereka amnesia dan lalai pada Penciptanya. Jangankan beriman, tujuan hidup pun mereka tak lagi paham. Mereka hanya sibuk mengejar materi dan kesenangan, lupa bahwa sejatinya mereka mengemban tanggung jawab besar untuk umat dan peradaban. Ini bisa dipahami, mengingat mereka tak dibiasakan menjadikan aturan Islam sebagai acuan. Tak heran, perbuatan maksiat pun ringan ringan saja dikerjakan tanpa berpikir akan ada pertanggungjawaban. 


Memang, generasi saat ini cerdas secara akademik bahkan berprestasi. Namun, tanpa ada nuansa iman yang harusnya berjalan beriringan dengan intelektualitas, mereka hanya akan menjadi generasi yang mengerikan. Asal tabrak aturan bisa saja dilakukan tanpa memandang dampak ke depan. Apakah generasi generasi seperti ini yang menjadi harapan? 


Kondisi ini diperparah dengan abainya negara pada problem kompleks pendidikan. Rancangan program untuk memperbaiki terkesan dibuat setengah hati. Meski beranggaran tinggi, nyatanya solusi yang dicetuskan tak pernah menyentuh akar masalah inti. Pantas saja, tidak pernah menuai hasil yang berarti. Sayangnya, ini  luput dievaluasi. Negara tetap saja tutup mata dengan fakta ini. Yang negara tahu hanyalah bagaimana generasi tetap menghasilkan pundi-pundi uang untuk menopang ekonomi negeri.  


Sampai disini, makin nyatalah sudah kerusakan sistemik pendidikan ini. Dimana penerapan sistem sekuler yang menjadi biang keladi. Alih-alih memberi dampak positif bagi generasi, sistem ini justru semakin memperparah problem yang terjadi. Munculnya generasi minus akhlak dan empati serta berkepribadian labil menjadi bukti kuat tak layaknya sistem tersebut menjadi role model pendidikan masa depan. 


Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi saat Islam dijadikan sebagai pengatur kehidupan. Mari menengok sejarah sejenak, bagaimana dahulu peradaban Islam mampu melahirkan para cendekiawan sejati? Tak hanya cerdas, akhlak dan keimanan mereka tak perlu diragukan lagi. Sebut saja, Ar-Razi yang dijuluki Bapak Kedokteran Dunia. Dengan ilmu pengetahuan yang beliau kuasai, beliau berhasil menulis beberapa buku yang menjadi rujukan dunia kedokteran masa kini. Bahkan, beliau dinobatkan sebagai dokter muslim terbesar dan ilmuwan paling produktif sepanjang sejarah peradaban. 


Selain itu, penemuan google maps yang menjadi salah satu teknologi canggih saat ini ternyata tak lepas dari peran cendekiawan muslim. Adalah Maryam Al-Astrulabi, seorang intelektual muslimah yang sukses menemukan astrolab, sebuah alat navigasi untuk melihat bintang yang merupakan cikal bakal penemuan GPS. Ada juga Abbas Ibnu Firnas, sang penemu mesin terbang, Al Khawarizmi, Bapak Penemu Angka Nol, dan masih banyak deretan ilmuwan-ilmuwan muslim dengan segudang penemuan lainnya yang tak kalah luar biasa.


Keberhasilan Islam mencetak generasi cemerlang sebenarnya tak lepas dari diterapkannya sistem pendidikan Islam. Sistem yang dibentuk dengan landasan akidah ini akan meniscayakan terwujudnya generasi berkepribadian Islam yang cerdas dalam ilmu pengetahuan sekaligus taat kepada Allah. Ia paham betul jati dirinya bahwa sebelum berperan sebagai siapapun, termasuk pembelajar, ia adalah seorang hamba, sehingga apa yang diorientasikannya tak jauh-jauh dari tujuan meraih ridho Ilahi. 


Generasi generasi inilah generasi kuat yang tak akan mudah terbuai dengan iming-iming materi. Alih-alih berpikir bagaimana mengumpulkan keping recehan, mereka sibuk berkiprah melalui keilmuan masing - masing dan menghasilkan penemuan yang berguna bagi kemaslahatan umat. 


Hal tersebut bisa terjadi karena disamping sistem pendidikan Islam, negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam yang mewajibkan penguasa menjamin pemenuhan kebutuhan dasar warga negaranya secara gratis, termasuk pendidikan. Bahkan, para penuntut ilmu diberikan santunan beasiswa dan fasilitas pendidikan yang cukup sehingga tak ada lagi kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya. Mereka bisa fokus memberikan karya-karya untuk umat, sehingga terciptalah ulama dan intelektual terbaik dalam kepakarannya masing masing.                


Begitulah saat Islam menjadi mercusuar dunia. Pendidikan akan menjadi tempat penempa terbaik bagi para penyongsong peradaban. Bukan lagi generasi bobrok yang tercipta. Bukan lagi intelektual abal-abal yang banyak berkiprah, dan bukan lagi cendekiawan miskin iman yang mewarnai kehidupan. Melainkan generasi emas terbaik yang siap memimpin umat dengan landasan  satu-satunya solusi. Karena hanya dengan Islam peradaban mulia dapat tegak berdiri. Wallahu alam bissawab. [Dara]