Alt Title

Marak Kasus Obesitas Ekstrem, di Mana Pengawasan Makanan oleh Negara?

Marak Kasus Obesitas Ekstrem, di Mana Pengawasan Makanan oleh Negara?

Mengejutkan data yang dirilis oleh BPS tahun 2022 terkait makanan yang dipilih masyarakat Indonesia tertinggi adalah makanan cepat saji. Hal ini dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang rendah, harga pangan yang tinggi karena panjangnya rantai pasok makanan, juga harga yang fluktuatif sehingga membuat anggaran pangan berubah-ubah

Dari sini tampak, bahwa masyarakat masih kesulitan dalam memenuhi asupan gizi yang cukup. Maka negara dalam hal ini pihak pemerintah perlu meningkatkan pengawasan makanan dan minuman yang beredar di masyarakat

_____________________________


Penulis Heni Rohmawati, S.E.I.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Rakyat Indonesia tercengang kembali oleh kasus obesitas ekstrem yang ada di negeri ini. Belum lama ini seorang pengidap obesitas dengan berat badan mencapai 300 kg berinisial MF berasal dari Tangerang, Banten, meninggal dunia pasca dirawat di RS. Cipto Mangunkusumo selama kurang lebih 14 hari. (CNBC Indonesia, 23/6/2023)


Kabar ini sontak menyita perhatian publik, mengingat ini bukan kali pertama. Ada beberapa kasus obesitas ekstrem di Indonesia di antaranya adalah seorang wanita dengan berat badan mencapai 350 kg dan meninggal pada Januari lalu. 


Aria Permana seorang anak laki-laki yang berusia 9 tahun dengan berat badan 192 kg. Kabar baiknya Aria mendapatkan perawatan medis dan didampingi oleh para ahli hingga binaragawan yaitu Ade Rai yang melatih untuk hidup sehat dan menurunkan berat badan Aria.


Pada tahun 2015, seorang laki-laki asal Karawang juga mengidap obesitas ekstrem dengan bobot mencapai 310 kg. Lalu tahun 2017 meninggal dunia. Dan masih ada kasus serupa di Indonesia yang menyita perhatian penduduk Indonesia maupun dunia.


Obesitas di Indonesia


Berdasarkan hasil penelitian oleh Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018, prevalensi obesitas pada usia dewasa meningkat dari 26,3% pada tahun 2013 menjadi 35% pada tahun 2018.


Adapun menurut laporan UNICEF dalam laporannya analisis lanskap kelebihan berat badan di Indonesia pada tahun 2022, satu dari tiga orang Indonesia dewasa hidup dengan obesitas. (CNBC Indonesia, 23/6/2023)


Hasil kajian Global Burden of Deseases yang diinformasikan dari jurnal Lancet pada tahun 2014 mengungkap bahwa Indonesia berada di 10 negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Permasalahannya menjadi lebih serius, manakala obesitas tersebut dapat memicu penyakit yang lebih berbahaya. Seperti diabetes dan tekanan darah tinggi. 


Penyebab Obesitas


Obesitas adalah adalah suatu kondisi di mana tubuh mengalami penumpukan lemak sebagai efek dari kadar kolesterol tinggi. Obesitas disebabkan oleh gaya hidup atau life syle tak sehat. Seperti makanan tinggi kadar gula dan lemak serta jarang berolahraga. 


Hal ini yang memicu seseorang mengalami obesitas. Yakni masuknya kalori ke dalam tubuh secara berlebih, namun tidak diimbangi dengan aktivitas untuk membakar kalori tersebut. Sehingga penumpukan lemak pun terjadi dan mengalami obesitas.


Memang benar, penyebab obesitas tidak hanya dikarenakan oleh gaya hidup. Namun bisa juga berasal dari penyakit tertentu seperti riwayat kesehatan seperti, cushing, sindrom ovarium polikistik. Selain itu juga faktor genetika. Apabila orang tua mengalami obesitas, potensi anak terkena obesitas mencapai 40-50%. 


Selain itu, gangguan hormon yang tidak seimbang juga bisa memicu penumpukan lemak dan nafsu makan tinggi. Sehingga membuat seseorang lebih cepat merasa lapar. Gangguan hormon ini terjadi karena ketidakseimbangan pada hormon kortisol, leptin, tiroid, insulin, glukagon dan ekstrogen. Penyebab berikutnya adalah pola makan tak sehat. Faktor ini menjadi penyumbang paling dominan terjadinya obesitas. Banyaknya makanan yang mengandung banyak kalori seperti gorengan, makanan dan minuman yang mengandung pemanis buatan serta minuman bersoda.


Perlu Ketegasan Negara Mengawasi Makanan dan Minuman yang Beredar


Dr. Budi Wiweko selaku manajer riset dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia mengatakan, terjadinya obesitas yang terjadi Indonesia saat ini adalah pola konsumsi baik makanan dan minuman manis. Hal ini terjadi karena makan dan minuman tersebut beredar luas di pasaran dan sangat mudah didapatkan. Ia pun menambahkan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini serupa dengan pola konsumsi masyarakat Amerika 20 tahun lalu. Saat itu, makanan cepat saji dan minuman bersoda sangat digemari. (CNN Indonesia, 3/3/2017)


Menurut dr. Budi Wiweko, untuk menghindarkan diri dari obesitas maka yang harus dilaksanakan adalah mengurangi mengonsumsi makanan dan manis. Dan di sini memerlukan peranminu untuk membuat regulaspenguasai yang mengatur pembatasan standar gula pada makanan dan minuman yang diproduksi oleh industri makanan.


Tanpa peraturan itu, produsen akan terus memproduksi makanan dan minuman yang tidak baik bagi kesehatan dan itu akan terus menggoda masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi. Selain penguasa membuat aturan yang tegas tentu tidak berarti tanpa membuat sanksi jika ada pihak produsen yang melanggar aturan tersebut. Sehingga dengan demikian kepentingan konsumen akan konsumsi yang halal dan baik akan terjaga.


Perlu Peran Negara


Negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas beredarnya berbagai makanan siap saji untuk masyarakat. Negara juga adalah pihak yang memberi izin kepada produsen baik makanan dan minuman siap saji maupun semua makanan. 


Sesungguhnya negara telah mengatur perihal makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Hal ini oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) dengan komprehensip yang mencakup sebelum dan setelah dipasarkan sesuai perundang-undangan yang berlaku. Namun, mengejutkan data yang dirilis oleh BPS tahun 2022 terkait makanan yang dipilih masyarakat Indonesia tertinggi adalah makanan cepat saji. Hal ini dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang rendah, harga pangan yang tinggi karena panjangnya rantai pasok makanan, juga harga yang fluktuatif sehingga membuat anggaran pangan berubah-ubah. 


Dari sini tampak, bahwa masyarakat masih kesulitan dalam memenuhi asupan gizi yang cukup. Wajarlah jika banyak masalah ikutannya, yaitu berbagai penyakit yang terjadi di masyarakat. Maka negara dalam hal ini pihak pemerintah perlu meningkatkan pengawasan makanan dan minuman yang beredar di masyarakat. Perlu sanksi tegas kepada pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dalam memilih makanan seperti penggunaan zat adiktif, zat perisa, hingga pewarna makanan sintetis. Semua menyebabkan makanan lebih indah warnanya, lebih enak rasanya dan lebih awet produknya. Akan tetapi, hal tersebut tidak baik untuk dikonsumsi manusia. Belum lagi masalah sanitasi atau standar kebersihannya.


Bagaimana Islam Menyelesaikan Produsen ‘Nakal’?


Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah ta’ala sebagai rahmat-nya kepada manusia. Oleh karena itu, apabila syariat diterapkan akan menjaga eksistensi dan kebaikan manusia itu sendiri. Pada masa Rasulullah saw., ditemukan ada penjual makanan yang tidak jujur. 


Saat itu, Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam, sedang berjalan di pasar Madinah. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam makanan yang sedang dijual. Kemudian jari-jari Rasulullah basah. Beliau pun menanyakan hal itu ke penjual makanan, “Apa ini wahai penjual makanan? Lalu penjual itu pun menjawab, “Makanan itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, ”Mengapa tidak kau letakkan di atas, agar orang-orang dapat melihatnya. Siapa pun yang menipu maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim)


Dapat ditarik kesimpulan yang sama antara penjual makanan yang menipu dengan penjual makanan yang menggunakan bahan-bahan berbahaya adalah kedua pihak sama-sama merugikan konsumen atau masyarakat.


Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Wahai manusia makanlah makanan yang halal lagi baik yang ada di bumi. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah: 168)


Dengan kontrol yang tegas dari penguasa, niscaya para produsen makanan tidak akan menggunakan bahan-bahan makanan yang dapat merugikan konsumen. karena hal itu termasuk tindakan yang diharamkan dalam Islam. Tentunya ditopang dengan penerapan Islam secara kaffah, tidak hanya sistem ekonomi Islam tetapi juga pendidikan yang memadai yang disediakan oleh negara secara cuma-cuma. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang beriman, cerdas, sejahtera dan sehat jasmani. Wallahualam bissawab. []