TPPU Marak, Tuntaskah Diberantas?
OpiniPencucian uang adalah istilah yang sebagian orang sudah mengenalnya. Pencucian uang merupakan salah satu cara yang digunakan oleh pelaku kejahatan korupsi dengan mengolah uang seolah-olah didapatkan dari sumber yang benar. Kenyataannya uang tersebut hanya hasil kegiatan kriminal yang mereka lakukan
_____________________________________________
Penulis Nurul Bariyah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK
KUNTUMCAHAYA.com-Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), semakin hari bukannya tuntas diberantas malah kian marak. TPPU juga melibatkan banyak pihak termasuk artis. Baru-baru ini setelah ramai kasus Rafael Alun Trisambodo, berbuntut pada kasus TPPU yang diduga melibatkan artis berinisial 'R' yang berdomisili di Jakarta.
Kasus TPPU yang kini marak, juga menyeret banyak nama pejabat di berbagai departemen pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) umum dengan Komisi III DPR RI, Menkopulhankam, Mahfud MD menyampaikan bahwa sebanyak 491 orang ASN Kemenkeu terlibat korupsi dan TPPU. (BBC[dot]com, 29/3/2023)
Pencucian uang adalah istilah yang sebagian orang sudah mengenalnya. Pencucian uang merupakan salah satu cara yang digunakan oleh pelaku kejahatan korupsi dengan mengolah uang seolah-olah didapatkan dari sumber yang benar. Kenyataannya uang tersebut hanya hasil kegiatan kriminal yang mereka lakukan.
Seorang pelaku kriminal menyimpan uang di lembaga keuangan yang sah, agar tampak berasal dari sumber yang sah. Proses yang dijalankan dalam pencucian uang melibatkan 3 langkah, yaitu: penempatan, pelapisan, dan integrasi.
Pada proses penempatan, pelaku secara diam-diam menyuntikkan 'uang kotor' ke dalam sistem keuangan yang sah. Kemudian pada proses pelapisan, pelaku akan menyembunyikan sumber uang tersebut melalui rangkaian transaksi dan trik pembukuan. Proses terakhir, yaitu proses integrasi. Uang hasil pencucian, lalu ditarik dari rekening yang sah untuk digunakan sesuai keinginan pelaku/penjahat.
Demikian cara kerja para penjahat pencucian uang, yang kian hari kian banyak orang melakukannya. Mereka seolah tidak takut dengan hukuman yang akan menjerat. Hukum yang berlaku juga tidak menimbulkan efek jera. Di negara ini, seorang yang terbukti melakukan TPPU akan dikenakan pidana penjara paling lama 20 tahun. Namun mengapa kian banyak kasus semacam ini terjadi? Dapatkah pemberantasan TPPU ini dituntaskan?
Fakta yang terjadi para koruptor makin lihai dan memiliki beragam cara dalam praktik pencucian uang. Dahulu dengan perjudian dan kasino, kini ada lagi modus lainnya. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menemukan adanya modus baru TPPU yaitu dengan menyimpan uangnya di pasar modal dan valuta asing.
KPK sebagai badan yang bertugas memberantas korupsi telah berusaha semaksimal mungkin, termasuk pelatihan teknologi agar bisa menyusuri para koruptor yang semakin canggih.
Kepala bagian pemberantasan KPK, Ali Fikri mengemukakan, bahwa KPK mengapresiasi temuan PPATK berupa adanya modus baru para koruptor sekarang ini. Menurutnya modus koruptor bermetamorfosis ke arah yang semakin canggih seiring kemajuan teknologi dan informasi. (antaranews[dot]com, 29/3/2023)
Namun, apakah upaya KPK dapat berhasil tuntaskan TPPU? Mengingat KPK bekerja sendiri, sedang orang-orang yang korupsi begitu banyak dan berasal dari berbagai bagian pemerintahan.
Sungguh miris, melihat kenyataan para pejabat yang seharusnya mengayomi rakyat, justru merampas harta dan menyengsarakan rakyat. Mengambil keuntungan dan mengeruk uang sebanyak-banyaknya untuk masuk kantong pribadi. Kinerja mestinya ditujukan bagi kemaslahatan rakyat dan kemakmuran rakyat, kini tak lagi jadi pedoman. Tak peduli tindakan mereka saat ini melanggar hukum, yang penting pundi-pundi uang terisi penuh, kemewahan terpampang di depan mata.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain karena sistem hidup yang dianut hari ini, yaitu Kapitalisme dan sekularisme. Sistem yang membuat para pejabat menuhankan materi. Sebab demokrasi yang dibidani oleh Kapitalisme membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Mereka yang mau menjadi pejabat harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Maka ketika menjabat dan ingin menjabat lagi mereka pun harus mengumpulkan uang yang banyak untuk mengembalikan modal dan untuk menjabat kembali. Cara cepat yang dilakukan kemudian adalah dengan tindak korupsi. Jadi korupsi dalam sistem Kapitalisme demokrasi adalah hal yang wajar, mustahil untuk diberantas.
Sistem Kapitalisme pun menghilangkan norma kemanusiaan, hati nurani, bahkan agama. Dosa tak lagi menjadi hal yang menakutkan. Banyak yang tadinya dinilai agamis, tapi terbukti melakukan tindak korupsi. Bahkan kini sedang terlibat dalam pencucian uang.
Fenomena di atas berbeda dengan saat penerapan sistem Islam. Dalam Sistem Islam, para pemimpin atau pejabat yang akan dipilih adalah mereka yang memiliki keimanan yang tinggi. Semua aparat negara mengerti, bahwa mereka mempunyai pertanggungjawaban langsung kepada Allah. Bahwa mereka selalu diawasi oleh Allah yang Maha Melihat dan Maha Menguasai.
Masyarakat pun bisa mengoreksi penguasa bila melakukan kesalahan. Semuanya dilakukan atas dasar cinta. Sebab diangkatnya penguasa oleh rakyat atas dasar rida dan cinta. Bukan semata-mata benci, apalagi iri.
Dalam Islam, para pejabat akan diaudit, sebelum menjabat harta kekayaan dan setelah beberapa waktu menjabat akan diaudit kembali. Jika ada yang menyimpang, maka akan segera diluruskan. Bisa jadi mereka yang menyimpang atau hartanya berlebihan, tidak dicopot dari jabatannya melainkan hanya akan diambil harta lebihnya saja.
Demikianlah aturan yang benar dan jelas telah digariskan dalam Islam, sehingga apabila diamalkan akan membawa pada keberkahan dan kebahagiaan. Tidak hanya mengejar materi dan kekayaan duniawi yang hanya sementara, akhirat yang kekal selamanya haruslah dipersiapkan. Akan ada pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta kelak di akhirat, atas apa yang kita perbuat selama di dunia. Apakah sesuai dengan aturan Allah atau melanggar-Nya?
Allah Swt. berfirman:
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْن
Aَrtinya: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah ayat 8)
Wallahualam bissawab.